Sunday, April 15, 2012

Soji Ro Sangga Ruuba Ndo'i

 Soji Ro Sangga Ruuba Ndo'i adalah sesajen yang dikhususkan untuk ndoi. Adapun prosesinya sebagai berikut:
  • Disiapkan keperluan sesajen seperti gambar di bawah ini, 1 (satu) ekor ayam jantan, dan 2 (dua) ekor ayam betina.  
  • Setelah semua bahan seajen sudah disiapkan dan ditata rapi menurut tatacara ritual, maka seorang dukun membacakan doa-doa dan mantra-mantra untuk mengundang roh-roh nenek morang untuk hadir dalam acara tersebut

  •  Setelah acara ritual selesai barulah sesajen tadi diletakkan di atas taja, kemudian dilanjutkan dengan acara makan-makan.
  • Pada hari berikutnya si dukun menurunkan sesajen dari atas taja dan sesajen dibagikan kepada orang-orang yang hadir pada acara penurunan sesajen tersebut.

Tuesday, April 10, 2012

Ngahara Janga di Pento

Ngahara Janga di Pento adalah acara lanjutan dari Huda Losa Rafu dari pihak perempuan ke pihak laki-laki (suaminya).
Adapun acara   Ngahara Janga di Pento dilakukan sebagai berikut:
  • Disiapkan sesajen yang berupa: Karab'a fare, Pisang satu sisir, beras yang dimasukkan ke dalam piring yang diatasnya diletakkan uang logam, serta ayam jantan dan ayam betina masing-masing satu ekor.
  • kedua ayam tadi dipegang, sebelah kanan ayam jantan dan sebelah kiri ayam betina serta dibacakan doa-doa/mantra-mantra dalam bahasa bima. Setelah dibacakan mantra kedua ayam tersebut di kasi makan (besar).
  • Setelah ayam tersebut di kasi makan barulah di sembelih.
  • Sambil menunggu ayam di masak (direbus), pengunjung di ajak makan terlebih dahulu dengan lauk apa adanya. biasanya sudah disiapkan lauk ayam rebus yang bukan dari kedua ayam tadi.
  •  Apabila kedua ayam tadi udah masak, maka dukunpun mengambil bagian-bagian tertentu dari ayam tersebut masing masing sedikit, misalnya Kepala, leher, dada, hati, kulit ayam, dll. kemudian bagian bagian ayam tadi diletakkan diatas nasi dan selanjutnya di persembahkan ke roh-roh leluhur dengan membacakan doa-doa/mantra-mantra.
  • Selesai acara, makanan yang dipersembahkan ke roh leluhur tadi dimakan oleh anggota keluarga baru yang pindah rafu atau orang yang menerima anggota baru dalam rafunya.

Thursday, April 5, 2012

Huda Losa Rafu di Mbawa

Huda losa rafu adalah suatu acara dimana seorang wanita yang baru menikah keluar dari Rafunya dan masuk ke Rafu suaminya. Seorang wanita yang baru berkeluarga otomatis masuk ke rafu suaminya dan sebagai imbal baliknya dan ucapan terima kasih kepada rafunya yang lama, wanita ini harus membawa sesajen  ke rumah orang tuanya sebagai tanda akan keluar dari rafu orang tuanya dan masuk ke rafu yang baru yaitu rafu suaminya. Prosesi pindah rafu dapat saya jelaskan sebagai berikut:
  • Sebagai seorang yang sudah menikah tentu seorang wanita harus tinggal di rumah suaminya, oleh karena itu prosesi pindah rafu harus di mulai dari sini. dari rumah ini seorang wanita yang sudah berkeluarga menyiapkan segala sesuatunya Misalnya: beras, dau sirih, pinang, kapur sirih, Kain kafan,  uang logam dan keris pusaka ( kesemua persyaratan di atas di masukkan ke dalam baskom),  dan seekor ayam kampung

  • Setelah semua bahan sudah ada, barulah si wanita tadi berangkat ke rumah orang tuanya sambil menjunjung bawaannya dan memegang seekor ayam kampung di tangan kananya

  • Sesampainya di rumah orang tuannya, si wanita memberikan bawaannya kepada seorang dukun tepat di depan pintu rumah orang tuannya yang memang sudah menunggu kedatangannya. Sebelum mengambil bawaan si wanita, si dukun membaca mantra sambil menatap ayam yang dibawa si wanita dan menyiramnya dengan air, barulah kemudian si dukun mengambil ayam beserta bawaan lainnya dari wanita tersebut dan wanita tadi dipersilahkan masuk. Sampai disini acara selesai, dan kemudian akan dilanjutkan dengan acara Ngahara Janga di Pento.



Kasaro Hidi Ro Lua

Kasaro adalah acara ritual yang berfungsi untuk memberikan nakan dan minum (sesajen) kepada roh-roh halus supaya jangan mengganggu acara karawi D'ewa. Sebelum melakukan kasaro, tuan rumah yang berhajat harus pergi kerumah salah satu dukun setempat dengan membawa:
  1. Piring yang berisi poppkor, daun sirih sebanyak 7 dan 5 helai, pinang 7 dan 5 potong, dan uang (sesuai kerelaan tuan yang berhajat) yang diletakkan diatas dau sirih tadi.
  2. Beras yang dimasukkan kedalam wadah yang agak besar dan diletakkan 1 butir telur ayam diatasnya
  3. wadah yang lain/paja (bhs. bima) untuk meletakkan daun sirih, pinang, dan kapur sirih bahkan juga berfungsi untuk meletakkan daun tembakaun dan kertas rokok.
  Kalau barang ini diterima oleh dukun berarti tawaran ini akan segera dilaksanakan, tetapi kalau dukun ini tidak menerima atau menolak berarti orang yang berhajat harus pulang dan mencari dukun yang lain yang mau membantu hajatan tersebut.

    Wednesday, April 4, 2012

    Karawi D'ewa di Mbawa

    Karawi D'ewa adalah salah satu acara ritual yang digunakan untuk melakukan komunikasi dengan arwah para leluhur. biasanya menggunakan mediasi yaitu orang-orang tertentu yang sudah belajar khusus tentang d'ewa dan terpilih. Mengapa saya bilang terpilih...? ini semata-mata karena memang ada banyak orang yang menempa ilmu untuk bisa melakukan D'ewa tetapi hanya sedikit yang bisa melakukannya makanya saya bilang orang terpilih. Sebelum melakukan karawi D'ewa biasanya disiapkan sesajen yaitu sebagai berikut:
    1. Pisang satu sisir
    2. Uang Logam sebanyak 4 Keping @ Rp. 500,-
    3. Daun sirih
    4. Pinang
    5. Padi popkor (karamba fare)
    Setelah disiapkan bahan-bahan sesajen diatas, kemudian di tempatkan pada tiga buah pirig yang masing-masing:
    Piring I : * Padi popkor
                  *Daun sirih sebanyak 7 helai dan 5 helai
                  * Pinang sebanyak 7 potong dan 5 potong

    Piring II  * Padi popkor
                  * Sirih 1 helai
                  * Uang logam   sebanyak 4 Keping @ Rp. 500

    Piring I dan II di  susun kemudian diletakkan pisang satu sisir di atasnya

    Piring ke III: * Sirih 5 helai dan 3 helai
                        *  Pinang 5 helai dan 3 helai

    Piring ke III ditetakkan secara terpisah.

    Setelah sesajen lengkap, kemudian mediator duduk bersila  tenang di depan sesajen, menutup bagian kepalanya menggunakan kain dan memegang kain yang lain di kedua tangannya. barulah mediator membaca mantra dan sebagainya untuk memanggil roh nenek moyang. setelah roh itu masuk ke badan mediator barulah roh itu bisa berbicara dan  menasehati para keluarganya yang masih hidup (yang mengadakan ritual). bahkan keluarga yang mengadakan ritual ini bisa menannyakan keadaan keluarganya yang sudah meninggal. selesai acara ritual barulah sang mediator mengusap kepala dan muka para pengujung seraya mendoakan keselamatannya.


    Tuesday, April 3, 2012

    Mempertahankan Rumah Adat di Bima

    SEBUAH rumah panggung beratapkan alang-alang dengan ketinggian tiang kayu sekitar 2 meter berdiri kokoh di atas bukit di tengah Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat yang disebut Ncuhi itu satu-satunya yang tersisa di Bima. Di rumah ini diselenggarakan sejumlah ritual adat untuk memohon pertolongan leluhur.

    Di Belakang rumah ini berdiri kokoh sebuah pohon beringin yang diperkirakan berusia 100 tahun, dikelilingi batu-batu berdiameter 1-1,5 meter. Batu-batu dan pohon-pohon lain di sekitarnya juga diyakini memiliki kekuatan khusus sebagai bagian dari kekuatan rumah induk Ncuhi.

    Di samping rumah adat tersebut berdiri rumah pribadi milik Jamaludin Ismael, ahli waris rumah adat Ncuhi. Setiap tamu umumnya langsung dilayani Jamaludin.

    Ketika ditemui di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Bima, awal Februari, Jamaludin mengatakan, rumah adat Ncuhi di Desa Mbawa merupakan satu-satunya rumah adat yang tersisa di Bima. Sebelum masa pemerintahan Sultan Bima I, Abdul Kahir, kerajaan Bima terpecah menjadi lima bagian yang disebut Ncuhi.

    Kelima Ncuhi itu adalah Ncuhi Dara yang berkuasa di Bima tengah, Ncuhi Parewa (Bima selatan), Ncuhi Padolo (Bima barat), Ncuhi Banggapupa (Bima utara), dan Ncuhi Dorowani (Bima timur). Rumah adat Ncuhi di Desa Mbawa merupakan bagian kecil dari Ncuhi Padolo di Bima barat.

    ”Kata ncuhi artinya raja, juga berarti kerajaan itu sendiri. Dulu, ada banyak kerajaan kecil di Bima dengan istana rajanya masing-masing sebelum kesultanan Bima terbentuk. Di Kecamatan Donggo, tepatnya di Desa Mbawa, masih ada ncuhi. Semua ncuhi sudah punah, tinggal satu ncuhi di Desa Mbawa ini,” kata Jamaludin.

    Ncuhi kemudian menjadi simbol kehadiran leluhur, dewa langit, bumi, dan kekuatan alam gaib. Lingkungan alam (tanah, batu, kayu, dan sumber air) harus dijaga warga karena merupakan warisan leluhur.

    Simbol kekuatan

    Rumah adat Ncuhi berbentuk panggung, seluruh bahan bangunannya dari kayu. Memiliki empat tiang utama sebagai simbol kekuatan leluhur, dewa langit, (hasil) bumi, dan kekuatan alam sekitar. Terdapat lima tangga dari kayu untuk mencapai bagian panggung (tempat duduk) dari rumah tersebut.

    Setiap awal bulan Oktober, sebelum musim tanam, digelar upacara Raju, berburu babi hutan dengan kuda dan berjalan kaki. Sebelum agama masuk di Mbawa tahun 1915, warga desa setempat percaya akan kekuatan Ncuhi. Namun, seiring berjalannya waktu serta masuk dan berkembangnya agama-agama di Mbawa, sampai kini hanya 30-50 orang yang melibatkan diri pada upacara tersebut.

    ”Semakin banyak babi ditangkap, diyakini hasil panen akan melimpah. Babi hutan itu simbol rezeki dari leluhur. Namun, jika yang diperoleh warga kebanyakan babi betina, diyakini curah hujan cukup banyak. Namun, babi jantan juga berarti hujan besar meskipun hanya sebentar,” kata Jamaludin.

    Dalam upacara Raju tidak dibedakan agama, suku, dan asal-usul warga. Semua orang di Mbawa ”wajib” ikut. Di Desa Mbawa terdapat tiga keyakinan warga, yakni Katolik, Protestan, dan Islam. Semua warga terlibat dalam upacara itu. Yang Muslim tak menyentuh babi, tetapi mereka tetap menghadiri upacara tersebut.

    Sebagian besar daging babi dipersembahkan kepada leluhur. Setiap bagian dari babi itu diambil satu-tiga potong kemudian diletakkan di rumah adat, batu-batu, dan pohon di samping rumah adat yang diyakini sebagai simbol kehadiran leluhur.

    Pada saat bersamaan, warga desa pun datang membawa makanan mereka masing-masing. Mereka makan bersama di rumah adat itu sambil bernyanyi dan menari adat.

    Mereka membawa juga bibit padi dan jagung yang hendak ditanam. Bibit itu disimpan beberapa saat di dalam rumah adat, kemudian diperciki air kelapa muda berwarna merah oleh Jamaludin. Percikan air kelapa muda ini simbol berkat dari leluhur terhadap bibit-bibit yang hendak ditanam agar benih itu tak mudah dimakan hama dan hasilnya melimpah.

    Raju biasanya berlangsung tiga hari, lima hari, atau tujuh hari, sesuai dengan kesepakatan para ketua adat. Keputusan jumlah hari perayaan Raju tergantung pada posisi bulan, petunjuk leluhur, dan mimpi dari ketua adat.

    Keturunan raja

    Jamaludin beragama Katolik. Dia keturunan dari Raja Katonu Amasafa, pemimpin terakhir dari Ncuhi Mbawa.

    Rumah adat Ncuhi muncul sebelum agama-agama masuk di Bima. Ini merupakan penjelmaan dari kekuasaan tradisional ratusan tahun silam. Agama asli warga disebut ”Ndus”, yang percaya pada leluhur dan kekuatan tertinggi.

    ”Sebelum agama resmi masuk Mbawa, setiap upacara Raju ada ribuan orang. Pelataran rumah adat ini penuh dengan manusia. Mereka bahkan bermalam di sini selama upacara Raju berlangsung. Sekarang suasana itu tidak terjadi lagi. Hanya sebagian orang tua yang masih percaya dan hadir pada upacara Raju,” kata Jamaludin.

    Bahkan, ada beberapa tokoh agama mengusulkan agar rumah adat itu dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi, sebagian orang tua tetap mempertahankan Ncuhi, dengan alasan rumah adat itu warisan leluhur yang masih tersisa di Bima.

    ”Mereka yang tak suka pada rumah adat ini tidak mudah menghilangkannya. Bagi kalian yang tidak suka, tak perlu datang ke rumah ini. Cukup saya, anak, dan istri yang menjalankan kepercayaan tua ini,” kata Jamaludin.

    Bagi dia, Ncuhi ibarat nyawa Desa Mbawa. Jauh sebelum agama masuk Mbawa, rumah adat itu disegani dan dihormati warga. Sebelum suatu kegiatan umum berlangsung, selalu diawali upacara khusus di Ncuhi.

    Upacara adat yang masih bertahan, antara lain, tolak roh jahat, syukur atas hasil panen, upacara perkawinan, sekolahkan anak, serta pembangunan rumah berskala besar, seperti balai desa, kantor desa, dan rumah ibadah.

    Untuk melestarikan Ncuhi, Jamaludin tak bosan mengajak warga Mbawa bergotong royong. Bahan bangunan mereka ambil dari hutan sekitar sehingga warga tak perlu mengeluarkan uang untuk perbaikan rumah adat itu.

    ”Perawatan rumah adat ini mudah. Hanya sekitar 10 tahun sekali baru memerlukan perbaikan, bahkan pernah sampai 20 tahun baru ada kerusakan kecil,” katanya. Dalam setiap perbaikan Ncuhi, Jamaludin mengajak warga dan kepala desa berembuk untuk berbagi tugas.

    Upaya Jamaludin melestarikan Ncuhi membuat kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata di Bima. Selain turis dari Amerika Serikat, Jerman, Austria, Belanda, dan Jepang, banyak peneliti sosiologi dan antropologi yang menjadikan Ncuhi sebagai obyeknya.
                                                                                                                             
                                                               Sumber:  http://oase.kompas.com


    Tuhan tidak menjanjikan hari-harimu tanpa duka, kegembiraan tanpa penderitaan, tetapi ia sungguh menjanjikan kekuatan untuk menghadapi hari-harimu, penghiburan bagi air matamu, dan terang bagi jalanmu