Monday, December 5, 2011

LEGENDA LA HILA DI TANAH DONGGO

Di zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila. Cantik jelita. Kulitnya putih bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan. Alis sang putri seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi keramas atau mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo) serta tujuh belah kelapa atau tiga setengah butir. Manakala sang putri mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang untuk menjemurnya.
Gadis ini belakangan akrab dipanggil La Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika kabar mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan seberang. Banyak pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa cemburu dan berujung pada keributan di antara mereka.
Paman dan bibi La Hila mencium bahaya besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk menghindari bahaya yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana paman dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La Hila setuju bersembunyi. Dia minta paman dan bibinya membuat lubang persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta supaya disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.
Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya mengantar makanan. Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada alat menenun saja di situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh dekat lubang persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah. Disaat bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang berteriak tidak tampak. Bunyi teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi. Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja pasangan suami istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman dan bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak cucu”.
Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia menangis mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas Donggo.
Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila. Masyarakat setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan membangun rumah.

                                                                                                Dikutip dari:
                                                                                                Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima,
                                                                                                2004

Sunday, December 4, 2011

TRADISI ORANG DONGGO


Masyarakat Donggo juga memiliki hari besar tersendiri yang disebut sebagai Hari Raju. Pada hari tersebut dilakukan berbagi rangkaian acara perayaan. Dimulai dari musyawarah besar para ketua klan atau yang di sebut Ndo’i untuk menentukan hari Raju. Perayaan Hari Raju biasanya dilakukan pada bulan Oktober atau sebelum masa tanam selama 7 hari. Ada 12 Klan atau Ndo’i dalam masyarakat Donggo. Diantaranya adalah Ndo’i Tuta Rasa, Lanco ini, Ntifa Siwe dan Mone, Paha Woha, Soro Jara, Puta Nawa, Paninta, Roho, Karia Dewa, Lua Lembo dan Keto Rasa.
Biasanya para anggota Klan ini akan datang pada hari Raju untuk menghormati nenek moyang dan melakukan persembahan meskipun mereka telah hidup ber-anak pinak diluar daerah Bima. Setiap Klan dipimpin oleh seseorang yang dipercaya memiliki Rafu atau Shakti tertentu. Rafu winte, misalnya dipercaya mampu menyembuhkan penyakit. Sedangkan rafu Ngguli kebal terhadap berbagai senjata tajam.
Pada hari pertama perayaan biasanya dilakukan upacara persembahan ke tempat-tempat yang disucikan oleh masing-masing klan menurut Tottem-nya. Setiap Ndo’i memiliki tempat yang dianggap suci atau keramat. Jumlahnya ada 12 sesuai dengan jumlah Ndo’i dan berada di sekitar desa Mbawa. Klan Ndo’i Soro Jara misalnya, harus melakukan persembahan dengan memotong seekor kuda. Sebagaian dari persembahan tersebut diletakkan di tempat keramat tersebut dan sebagian lagi dibagikan kepada warga. Jika hal tersebut dilanggar atau tidak dilakukan, maka salah satu anggota keluarga akan terkena ‘tulah’ atau kutukan seperti penyakit dan kesialan lainnya.
Dari keseluruhan perayaan, biasanya acara yang paling dinanti-nati adalah acara perburuan yang dilakukan pada hari-hari ganjil dalam enam hari perayaan Raju. Mereka akan berburu hewan-hewan liar seperti ayam hutan, rusa, babi dll di hutan yang cukup lebat di sekitar perkampungan. ”Pada hari Raju, kami seluruh masyarakat Kristen maupun muslim mengadakan acara perburuan bersama. Sementara anggota masyarakat yang tidak berburu tidak diperkenankan meningalkan desa selama tujuh hari tujuh malam. Mereka melakukan bersih desa dan melakukan ritual pembasmian hama,” kata Fransiskus Mukhtar (25 Tahun).
”Ada ketentuan-ketentuan khusus dalam berburu tersebut. Biasanya hasil tangkapan yang kami dapat juga menentukan keberhasilan dalam bercocok tanam nantinya. Misalnya kalau yang banyak kami tangkap itu binatang betina, biasanya akan banyak hujan. Tetapi kalau jantan itu alamat susah air,” kata Lukas Idris (50 Tahun).
Pada hari terakhir atau ketujuh, diadakan upacara buang sial. Beberapa masyarakat akan pergi menuju Seralano di desa Tambe dan melemparkan sebutir batu kerikil ke sebuah tempat khusus. Begitulah adat dan kebiasaan masyarakat Donggo. Bagi para penganut agama yang cenderung puritan (baik Islam, Kristen maupun Katholik), apa yang mereka lakukan mungkin bisa dianggap bid’ah atau syirik. Tetapi bagi masyarakat Donggo sendiri, itulah tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan. Sebab tradisi tersebut tentu tidak lahir begitu saja.
Tradisi tersebut merupakan bagian dari proses panjang pembelajaran, bagaimana nenek moyang dou Donggo berinteraksi dengan alam dan sesamanya selama ratusan atau mungkin ribuan tahun. Melalui hasil pembelajaran tersebut masyarakat donggo  menemukan kearifan-kearifan tersendiri, bagaimana mereka mengelola dan memanfaatkan alam dengan ramah dan bersahabat. Saat ini wilayah Donggo merupakan wilayah yang subur dan makmur. Hasil pertanian mereka melimpah dan anak-anak mudanya banyak bersekolah hinga ke luar daerah….   Hingga Kini…..

MUNCULNYA AGAMA KRISTEN DI DONGGO


Keberadaan budak atau orang-orang flores di bima diyakini membawa pengaruh Kristen ke masyarakat Donggo yang masih menganut kepercayaan Marafu terutama pasca meletusnya Tambora atau diera sultan Jamaludin III. Kedatangan para misionaris Katholik terutama setelah kesultanan Bima ditakhlukkan oleh Belanda juga semakin menguatkan ke kristen-an di wilayah ini. Romo Paulus yang menjadi Pastur Quasi Paroki (persiapan paroki) untuk wilayah Donggo mengatakan, bahwa sebelumnya agama kristen Protestan lebih dulu masuk ke wilayah Donggo dibanding agama Katolik. Tetapi karena misi itu terhenti dan umat tidak terpelihara maka pada tahun 1930-an, Frather Kiwus, seorang misionaris dari  Jerman melanjutkan misi tersebut dan berhasil membangun beberapa gereja dan sekolah di wilayah Donggo. Namun pada tahun 1968 hingga 1972 terjadi huru-hara dan pembakaran beberapa gereja serta sekolah yang dilakukan oleh masyarakat dari wilayah Sila yang dipimpin oleh H. Jamaludin.
Huru-hara itu memang konon dimaksudkan untuk meng-islam-kan orang-orang Donggo dan membendung kristenisasi. Beberapa masyarakat yang menganut agama selain Islam (kepercayaan Marafu dan Kristen/Katholik) dipaksa memeluk agama Islam. Beberapa benda peninggalan adat dirampas dan dimusnahkan, serta sebagian lagi sempat diselamatkan dan disimpan di museum ASI Bima.   Pemaksaan tersebut rupanya kurang berhasil, sebab masyarakat Donggo, sebenarnya lebih condong ke kepercayaan lama atau Marafu meskipun mereka menganut agama Kristen maupun Islam. Banyak masyarakat yang akhirnya pindah agama karena terpaksa dan kembali ke agama mereka manakala situasinya sudah mereda.
Tidak heran jika masyarakat Donggo tetap menggunakan nama Islam di belakang nama Baptis mereka. Beberapa bahkan tidak menggunakan nama Baptis sama sekali seperti Muhammad Ali (90 tahun) atau Sulaiman Ismail (11 tahun). Kamipun tak bisa menyembunyikan kekagetan dan tertawa tipis saat diperkenalkan dengan pak Muhammad Ali. Mungkin ia satu-satunya orang Katholik di dunia yang tetap memakai nama ‘Muhammad’, meskipun nama tersebut juga mengingatkan kepada petinju Negro-Amerika  yang sangat legendaris itu, tetapi Muhammad Ali Donggo lebih tua usianya dari Muhammad Ali yang justru menjadi Mu’allaf.
Hubungan antar agama, terutama Islam dan Kristen di masyarakat Donggo sendiri sebenarnya tidak terlalu ada masalah. Seperti yang diungkapkan oleh Jamaludin, cucu dari ‘Ncuhi Honte’ yang merupakan ‘Ncuhi Mbawa’ terakhir –dan diberi gelar Ncuhi Sangaji Lua Lembo oleh Sultan, –masyarakat Donggo memiliki kesadaran bahwa mereka adalah ‘serumpun’ saudara. ”Banyak dari kami yang satu keluarga berbeda agama, misalnya orang tuanya Katholik tetapi anaknya Islam atau sebaliknya, tetapi bisa hidup rukun dalam satu atap,” Ungkap lelaki 40 tahun yang memiliki nama baptis Stefanus ini.
Kalaupun ada masalah cukup serius, biasanya terkait dengan pernikahan beda agama. ”Biasanya kami orang kristen atau Katholik yang mengalah.maklum minoritas. Soalnya pernah terjadi beberapa kasus penganiayaan yang melibatkan orang luar ketika orang islam berpindah ke agama kami,” kata Yustina Sa’ida.
”Ada seorang gadis yang pindah agama, dia dianiaya oleh orang suruhan keluarganya hingga mengalami luka berat. Wah saya tidak habis pikir dan takut membayangkannya mas. Padahal agama itu kan mengajarkan kasih sayang dan tidak boleh ada paksaan dalam berkeyakinan. Meskipun kita berbeda agama, saya sendiri percaya kita menyembah Tuhan yang satu, hanya jalan dan caranya yang berbeda,” tambahnya dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Ada juga alasan mengapa ketika terjadi perkawinan antar agama ini, orang kristen cenderung masuk Islam. ”Masuk kristen itu tidak mudah mas. Untuk pernikahan saja ada semacam bimbingan selama 3 bulan. Belum lagi bimbingan dari seorang Katekis (guru agama) selama beberapa tahun jika mau masuk katholik, itupun belum tentu di Babtis,” kata salah seorang mu’allaf yang tidak mau disebutkan namanya.

                                                                                                             sumber: www.babuju.com

SEJARAH SOSIAL ORANG DONGGO


Di Donggo  hidup sebuah komunitas masyarakat yang memiliki keunikan tradisi tersendiri di antara orang Bima pada umumnya. Dou Donggo biasanya dikaitkan dengan indigenous people dan sistem kepercayaan lama sebelum terbentuknya kesultanan Islam Bima.
Saat ini Donggo hanyalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bima yang letaknya cukup terpencil, Namun demikian Dou Donggo telah menyebar diperkampungan-perkampungan yang terserak sepanjang lereng pegunungan Doro (Gunung; red) Soromandi yang berada disebelah barat teluk Bima memanjang hingga ke wilayah Sanggar (sebuah kerajaan lama yang konon raib terkubur oleh letusan Tambora pada tahun 1815) yang berada di kaki Tambora di utara daerah kabupaten Dompu. Ada beberapa gunung di sepanjang deretan pegunungan itu dengan puncak tertingginya Doro Lambuwu dengan ketinggian 1582 m dpl.

Kata Donggo, menurut beberapa sumber, secara etimologi memiliki arti ”yang diserah terimakan”. Tidak jelas benar apa makna kata ini sesungguhnya, terutama berkaitan dengan konteks etimologis nya.
 Ketika kesultanan Bima terbentuk pada tahun 1620an, wilayah Donggo yang secara otomatis berada di bawah kekuasaan kesultanan Bima, oleh suatu sebab wilayah ini yang di pimpin oleh seorang Ncuhi seakan kurang terperhatikan oleh pihak kesultanan. Ada beberapa hal yang membuat Donggo seakan “berbeda” dari orang Bima pada umumnya. Hal yang paling menyolok adalah sebagian besar masyarakat Donggo menganut agama Katholik atau masih terikat dengan kepercayaan lama yang disebut Marafu.
Hal itu tentu saja menjadi pembeda yang signifikan, sebab masyarakat Bima pada umumnya yang memiliki akar kesejarahan cukup panjang sebagai sebuah kesultanan Islam mengklaim bahwa Agama Islam adalah agama resmi “Negara”. Maklumat tersebut dikumandangkan oleh Sultan Salahudin sebagai Sultan pertama Bima yang mewajibkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Lalu mengapa kepercayaan lama dan agama Katholik masih berkembang luas di masyarakat Donggo?
Tofografi alam yang cukup ekstrim rupanya menjadi faktor utama mengapa wilayah Donggo seakan luput dari jangkauan pengawasan kesultanan Bima. Karakter Dana Mbojo (Tanah Bima) dan pulau Sumbawa pada umumnya memang memiliki tipologi terdiri pegunungan berbatu dan kering. Namun terdapat pula beberapa wilayah, terutama lembah atau ngarai di pegunungan-pegunungan tersebut —biasanya menjadi alur sungai yang mengaliran air dari mata air dipeguungan-pegunungan–  yang merupakan daerah subur. Di lembah atau perbukitan kecil disekitar lembah  tersebut biasanya   orang Bima mendirikan perkampungan dan membuat sawah atau berladang. Sebagian yang lain, terutama masyarakat pendatang dari suku Bugis, Bima atau dari Makassar mendirikan perkampungan di teluk Bima atau di pantai-pantai dan teluk yang ber-ombak datar serta terlindung seperti di daerah Sape dan sekitarya.
Sementara itu, biasanya Dou Donggo justru membangun perkampungannya di lereng bukit mendekati mata air. Perkampungan Mbawa misalnya, yang merupakan perkampungan tertua –dan dianggap sebagai kampung utama atau kampung induk sebagai asal-usul Dou Donggo–  tempat ‘Nuchi’ bertahta, berada disebuah lereng yang diapit dua jurang yang sangat dalam. Hal tersebut tentu menyulitkan siapapun untuk menjangkau wilayah itu dengan kekuatan fisik maupun senjata. Letaknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan –dan menyulitkan— dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis bagi pihak kesultanan. Karena itu pulalah di era kesultanan, daerah Donggo yang sebagian besar berhutan lebat serta bagian lainnya kering kerontang juga dijadikan tempat pembuangan tawanan perang atau budak-budak terutama dari daerah Manggarai dan flores yang merupakan daerah takhlukan kesultanan Bima.

Dalam konteks sosiografi masyarakat Bima, boleh dibilang jika orang Donggo adalah masyarakat gunung yang sebenarnya. Mereka mewarisi sifat masyarakat berburu dan meramu. Jikapun mereka mengenal sistem pertanian, umumnya mereka adalah masyarakat perambah yang bercocok tanam secara berpindah-pindah. Oleh satu sebab, biasanya karena gangguan dari binatang buas atau kejahatan, mereka kemudian membuat perkampungan tak jauh dari ladang-ladang yang berada di lingkar bukit tempat mereka bercocok tanam. Dari situlah penyebaran orang Donggo ke wilayah lain (jauh di luar perkampungan induk) terjadi, seperti di Kampung “Tolo Nggeru, Palama, dan Nggere kopa" yang letaknya lebih di bawah atau di selatan dan berada diperbatasan dengan Kabupaten Dompu. Pola hidup orang Donggo tersebut dalam kontek sosio-antropologis akan terlihat jelas dalam sistem kepercayaan dan tata sosial mereka.

Thursday, December 1, 2011

NAMA-NAMA D'EWA DI MBAWA

Ada 12 nama D'ewa di Mbawa:
  1. Ma lalondo aka sori mori ndai aka. dinamakan D'ewa Rasa D'ese
  2. Mai d'a maina tapeto b'ura wunta bedi kalawata. dinamakan D'ewa Soro Manu
      Mai d'a maina tamoti: 
  1. D'ewa Ana Saudara
  2. D'ewa La D'e
  3. D'ewa Nggama
  4. D'ewa Wudi La D'e
  5. D'ewa Sarete
     Ma Teka la ese
  1. D'ewa Donggo
  2. D'ewa Langi Lanta
  3. D'ewa Langi Mango
  4. D'ewa Donggo Tuta Sahe
  5. D'ewa Donggo To'i

NDO'I DESA MBAWA

Ndo'i di Desa Mbawa terbagi menjadi 2 (dua) tempat yaitu

A. Rasa Mbawa D'o (Rasa La Rodu)
  1. Ndo'i Puta Nawa
  2. Ndo'i Soro Jara
  3. Ndo'i Ntiva Mone
  4. Ndo'i Roho
  5. Ndo'i Paninta
  6. Ndo'i Keto Rasa
B. Rasa Mbawa D'a (Kambentu)
  1.  Ndo'i Tuta Rasa
  2. Ndo'i Tapa Rasa
  3. Ndo'i Karia D'ewa
  4. Ndo'i Lanco Ini
  5. Ndo'i Woha Rasa
  6. Ndo'i Kad'alu
  7. Ndo'i  Ntiva Siwe

RAFU ORANG MBAWA

Ada 12 Rafu di Mbawa:
  1. Rafu Kasa'a
  2. Rafu Sakontu
  3. Rafu D'o
  4. Rafu Rae
  5. Rafu Rafu Duna
  6. Rafu Guli
  7. Rafu deke
  8. Rafu Ni'u
  9. Rafu Winte (Keturunan Ncuhi)
  10. Rafu Latu
  11. Rafu Rahu
  12. Rafu Sad'o Ele


Tuhan tidak menjanjikan hari-harimu tanpa duka, kegembiraan tanpa penderitaan, tetapi ia sungguh menjanjikan kekuatan untuk menghadapi hari-harimu, penghiburan bagi air matamu, dan terang bagi jalanmu