Sunday, April 15, 2012

Soji Ro Sangga Ruuba Ndo'i

 Soji Ro Sangga Ruuba Ndo'i adalah sesajen yang dikhususkan untuk ndoi. Adapun prosesinya sebagai berikut:
  • Disiapkan keperluan sesajen seperti gambar di bawah ini, 1 (satu) ekor ayam jantan, dan 2 (dua) ekor ayam betina.  
  • Setelah semua bahan seajen sudah disiapkan dan ditata rapi menurut tatacara ritual, maka seorang dukun membacakan doa-doa dan mantra-mantra untuk mengundang roh-roh nenek morang untuk hadir dalam acara tersebut

  •  Setelah acara ritual selesai barulah sesajen tadi diletakkan di atas taja, kemudian dilanjutkan dengan acara makan-makan.
  • Pada hari berikutnya si dukun menurunkan sesajen dari atas taja dan sesajen dibagikan kepada orang-orang yang hadir pada acara penurunan sesajen tersebut.

Tuesday, April 10, 2012

Ngahara Janga di Pento

Ngahara Janga di Pento adalah acara lanjutan dari Huda Losa Rafu dari pihak perempuan ke pihak laki-laki (suaminya).
Adapun acara   Ngahara Janga di Pento dilakukan sebagai berikut:
  • Disiapkan sesajen yang berupa: Karab'a fare, Pisang satu sisir, beras yang dimasukkan ke dalam piring yang diatasnya diletakkan uang logam, serta ayam jantan dan ayam betina masing-masing satu ekor.
  • kedua ayam tadi dipegang, sebelah kanan ayam jantan dan sebelah kiri ayam betina serta dibacakan doa-doa/mantra-mantra dalam bahasa bima. Setelah dibacakan mantra kedua ayam tersebut di kasi makan (besar).
  • Setelah ayam tersebut di kasi makan barulah di sembelih.
  • Sambil menunggu ayam di masak (direbus), pengunjung di ajak makan terlebih dahulu dengan lauk apa adanya. biasanya sudah disiapkan lauk ayam rebus yang bukan dari kedua ayam tadi.
  •  Apabila kedua ayam tadi udah masak, maka dukunpun mengambil bagian-bagian tertentu dari ayam tersebut masing masing sedikit, misalnya Kepala, leher, dada, hati, kulit ayam, dll. kemudian bagian bagian ayam tadi diletakkan diatas nasi dan selanjutnya di persembahkan ke roh-roh leluhur dengan membacakan doa-doa/mantra-mantra.
  • Selesai acara, makanan yang dipersembahkan ke roh leluhur tadi dimakan oleh anggota keluarga baru yang pindah rafu atau orang yang menerima anggota baru dalam rafunya.

Thursday, April 5, 2012

Huda Losa Rafu di Mbawa

Huda losa rafu adalah suatu acara dimana seorang wanita yang baru menikah keluar dari Rafunya dan masuk ke Rafu suaminya. Seorang wanita yang baru berkeluarga otomatis masuk ke rafu suaminya dan sebagai imbal baliknya dan ucapan terima kasih kepada rafunya yang lama, wanita ini harus membawa sesajen  ke rumah orang tuanya sebagai tanda akan keluar dari rafu orang tuanya dan masuk ke rafu yang baru yaitu rafu suaminya. Prosesi pindah rafu dapat saya jelaskan sebagai berikut:
  • Sebagai seorang yang sudah menikah tentu seorang wanita harus tinggal di rumah suaminya, oleh karena itu prosesi pindah rafu harus di mulai dari sini. dari rumah ini seorang wanita yang sudah berkeluarga menyiapkan segala sesuatunya Misalnya: beras, dau sirih, pinang, kapur sirih, Kain kafan,  uang logam dan keris pusaka ( kesemua persyaratan di atas di masukkan ke dalam baskom),  dan seekor ayam kampung

  • Setelah semua bahan sudah ada, barulah si wanita tadi berangkat ke rumah orang tuanya sambil menjunjung bawaannya dan memegang seekor ayam kampung di tangan kananya

  • Sesampainya di rumah orang tuannya, si wanita memberikan bawaannya kepada seorang dukun tepat di depan pintu rumah orang tuannya yang memang sudah menunggu kedatangannya. Sebelum mengambil bawaan si wanita, si dukun membaca mantra sambil menatap ayam yang dibawa si wanita dan menyiramnya dengan air, barulah kemudian si dukun mengambil ayam beserta bawaan lainnya dari wanita tersebut dan wanita tadi dipersilahkan masuk. Sampai disini acara selesai, dan kemudian akan dilanjutkan dengan acara Ngahara Janga di Pento.



Kasaro Hidi Ro Lua

Kasaro adalah acara ritual yang berfungsi untuk memberikan nakan dan minum (sesajen) kepada roh-roh halus supaya jangan mengganggu acara karawi D'ewa. Sebelum melakukan kasaro, tuan rumah yang berhajat harus pergi kerumah salah satu dukun setempat dengan membawa:
  1. Piring yang berisi poppkor, daun sirih sebanyak 7 dan 5 helai, pinang 7 dan 5 potong, dan uang (sesuai kerelaan tuan yang berhajat) yang diletakkan diatas dau sirih tadi.
  2. Beras yang dimasukkan kedalam wadah yang agak besar dan diletakkan 1 butir telur ayam diatasnya
  3. wadah yang lain/paja (bhs. bima) untuk meletakkan daun sirih, pinang, dan kapur sirih bahkan juga berfungsi untuk meletakkan daun tembakaun dan kertas rokok.
  Kalau barang ini diterima oleh dukun berarti tawaran ini akan segera dilaksanakan, tetapi kalau dukun ini tidak menerima atau menolak berarti orang yang berhajat harus pulang dan mencari dukun yang lain yang mau membantu hajatan tersebut.

    Wednesday, April 4, 2012

    Karawi D'ewa di Mbawa

    Karawi D'ewa adalah salah satu acara ritual yang digunakan untuk melakukan komunikasi dengan arwah para leluhur. biasanya menggunakan mediasi yaitu orang-orang tertentu yang sudah belajar khusus tentang d'ewa dan terpilih. Mengapa saya bilang terpilih...? ini semata-mata karena memang ada banyak orang yang menempa ilmu untuk bisa melakukan D'ewa tetapi hanya sedikit yang bisa melakukannya makanya saya bilang orang terpilih. Sebelum melakukan karawi D'ewa biasanya disiapkan sesajen yaitu sebagai berikut:
    1. Pisang satu sisir
    2. Uang Logam sebanyak 4 Keping @ Rp. 500,-
    3. Daun sirih
    4. Pinang
    5. Padi popkor (karamba fare)
    Setelah disiapkan bahan-bahan sesajen diatas, kemudian di tempatkan pada tiga buah pirig yang masing-masing:
    Piring I : * Padi popkor
                  *Daun sirih sebanyak 7 helai dan 5 helai
                  * Pinang sebanyak 7 potong dan 5 potong

    Piring II  * Padi popkor
                  * Sirih 1 helai
                  * Uang logam   sebanyak 4 Keping @ Rp. 500

    Piring I dan II di  susun kemudian diletakkan pisang satu sisir di atasnya

    Piring ke III: * Sirih 5 helai dan 3 helai
                        *  Pinang 5 helai dan 3 helai

    Piring ke III ditetakkan secara terpisah.

    Setelah sesajen lengkap, kemudian mediator duduk bersila  tenang di depan sesajen, menutup bagian kepalanya menggunakan kain dan memegang kain yang lain di kedua tangannya. barulah mediator membaca mantra dan sebagainya untuk memanggil roh nenek moyang. setelah roh itu masuk ke badan mediator barulah roh itu bisa berbicara dan  menasehati para keluarganya yang masih hidup (yang mengadakan ritual). bahkan keluarga yang mengadakan ritual ini bisa menannyakan keadaan keluarganya yang sudah meninggal. selesai acara ritual barulah sang mediator mengusap kepala dan muka para pengujung seraya mendoakan keselamatannya.


    Tuesday, April 3, 2012

    Mempertahankan Rumah Adat di Bima

    SEBUAH rumah panggung beratapkan alang-alang dengan ketinggian tiang kayu sekitar 2 meter berdiri kokoh di atas bukit di tengah Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Rumah adat yang disebut Ncuhi itu satu-satunya yang tersisa di Bima. Di rumah ini diselenggarakan sejumlah ritual adat untuk memohon pertolongan leluhur.

    Di Belakang rumah ini berdiri kokoh sebuah pohon beringin yang diperkirakan berusia 100 tahun, dikelilingi batu-batu berdiameter 1-1,5 meter. Batu-batu dan pohon-pohon lain di sekitarnya juga diyakini memiliki kekuatan khusus sebagai bagian dari kekuatan rumah induk Ncuhi.

    Di samping rumah adat tersebut berdiri rumah pribadi milik Jamaludin Ismael, ahli waris rumah adat Ncuhi. Setiap tamu umumnya langsung dilayani Jamaludin.

    Ketika ditemui di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Bima, awal Februari, Jamaludin mengatakan, rumah adat Ncuhi di Desa Mbawa merupakan satu-satunya rumah adat yang tersisa di Bima. Sebelum masa pemerintahan Sultan Bima I, Abdul Kahir, kerajaan Bima terpecah menjadi lima bagian yang disebut Ncuhi.

    Kelima Ncuhi itu adalah Ncuhi Dara yang berkuasa di Bima tengah, Ncuhi Parewa (Bima selatan), Ncuhi Padolo (Bima barat), Ncuhi Banggapupa (Bima utara), dan Ncuhi Dorowani (Bima timur). Rumah adat Ncuhi di Desa Mbawa merupakan bagian kecil dari Ncuhi Padolo di Bima barat.

    ”Kata ncuhi artinya raja, juga berarti kerajaan itu sendiri. Dulu, ada banyak kerajaan kecil di Bima dengan istana rajanya masing-masing sebelum kesultanan Bima terbentuk. Di Kecamatan Donggo, tepatnya di Desa Mbawa, masih ada ncuhi. Semua ncuhi sudah punah, tinggal satu ncuhi di Desa Mbawa ini,” kata Jamaludin.

    Ncuhi kemudian menjadi simbol kehadiran leluhur, dewa langit, bumi, dan kekuatan alam gaib. Lingkungan alam (tanah, batu, kayu, dan sumber air) harus dijaga warga karena merupakan warisan leluhur.

    Simbol kekuatan

    Rumah adat Ncuhi berbentuk panggung, seluruh bahan bangunannya dari kayu. Memiliki empat tiang utama sebagai simbol kekuatan leluhur, dewa langit, (hasil) bumi, dan kekuatan alam sekitar. Terdapat lima tangga dari kayu untuk mencapai bagian panggung (tempat duduk) dari rumah tersebut.

    Setiap awal bulan Oktober, sebelum musim tanam, digelar upacara Raju, berburu babi hutan dengan kuda dan berjalan kaki. Sebelum agama masuk di Mbawa tahun 1915, warga desa setempat percaya akan kekuatan Ncuhi. Namun, seiring berjalannya waktu serta masuk dan berkembangnya agama-agama di Mbawa, sampai kini hanya 30-50 orang yang melibatkan diri pada upacara tersebut.

    ”Semakin banyak babi ditangkap, diyakini hasil panen akan melimpah. Babi hutan itu simbol rezeki dari leluhur. Namun, jika yang diperoleh warga kebanyakan babi betina, diyakini curah hujan cukup banyak. Namun, babi jantan juga berarti hujan besar meskipun hanya sebentar,” kata Jamaludin.

    Dalam upacara Raju tidak dibedakan agama, suku, dan asal-usul warga. Semua orang di Mbawa ”wajib” ikut. Di Desa Mbawa terdapat tiga keyakinan warga, yakni Katolik, Protestan, dan Islam. Semua warga terlibat dalam upacara itu. Yang Muslim tak menyentuh babi, tetapi mereka tetap menghadiri upacara tersebut.

    Sebagian besar daging babi dipersembahkan kepada leluhur. Setiap bagian dari babi itu diambil satu-tiga potong kemudian diletakkan di rumah adat, batu-batu, dan pohon di samping rumah adat yang diyakini sebagai simbol kehadiran leluhur.

    Pada saat bersamaan, warga desa pun datang membawa makanan mereka masing-masing. Mereka makan bersama di rumah adat itu sambil bernyanyi dan menari adat.

    Mereka membawa juga bibit padi dan jagung yang hendak ditanam. Bibit itu disimpan beberapa saat di dalam rumah adat, kemudian diperciki air kelapa muda berwarna merah oleh Jamaludin. Percikan air kelapa muda ini simbol berkat dari leluhur terhadap bibit-bibit yang hendak ditanam agar benih itu tak mudah dimakan hama dan hasilnya melimpah.

    Raju biasanya berlangsung tiga hari, lima hari, atau tujuh hari, sesuai dengan kesepakatan para ketua adat. Keputusan jumlah hari perayaan Raju tergantung pada posisi bulan, petunjuk leluhur, dan mimpi dari ketua adat.

    Keturunan raja

    Jamaludin beragama Katolik. Dia keturunan dari Raja Katonu Amasafa, pemimpin terakhir dari Ncuhi Mbawa.

    Rumah adat Ncuhi muncul sebelum agama-agama masuk di Bima. Ini merupakan penjelmaan dari kekuasaan tradisional ratusan tahun silam. Agama asli warga disebut ”Ndus”, yang percaya pada leluhur dan kekuatan tertinggi.

    ”Sebelum agama resmi masuk Mbawa, setiap upacara Raju ada ribuan orang. Pelataran rumah adat ini penuh dengan manusia. Mereka bahkan bermalam di sini selama upacara Raju berlangsung. Sekarang suasana itu tidak terjadi lagi. Hanya sebagian orang tua yang masih percaya dan hadir pada upacara Raju,” kata Jamaludin.

    Bahkan, ada beberapa tokoh agama mengusulkan agar rumah adat itu dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi, sebagian orang tua tetap mempertahankan Ncuhi, dengan alasan rumah adat itu warisan leluhur yang masih tersisa di Bima.

    ”Mereka yang tak suka pada rumah adat ini tidak mudah menghilangkannya. Bagi kalian yang tidak suka, tak perlu datang ke rumah ini. Cukup saya, anak, dan istri yang menjalankan kepercayaan tua ini,” kata Jamaludin.

    Bagi dia, Ncuhi ibarat nyawa Desa Mbawa. Jauh sebelum agama masuk Mbawa, rumah adat itu disegani dan dihormati warga. Sebelum suatu kegiatan umum berlangsung, selalu diawali upacara khusus di Ncuhi.

    Upacara adat yang masih bertahan, antara lain, tolak roh jahat, syukur atas hasil panen, upacara perkawinan, sekolahkan anak, serta pembangunan rumah berskala besar, seperti balai desa, kantor desa, dan rumah ibadah.

    Untuk melestarikan Ncuhi, Jamaludin tak bosan mengajak warga Mbawa bergotong royong. Bahan bangunan mereka ambil dari hutan sekitar sehingga warga tak perlu mengeluarkan uang untuk perbaikan rumah adat itu.

    ”Perawatan rumah adat ini mudah. Hanya sekitar 10 tahun sekali baru memerlukan perbaikan, bahkan pernah sampai 20 tahun baru ada kerusakan kecil,” katanya. Dalam setiap perbaikan Ncuhi, Jamaludin mengajak warga dan kepala desa berembuk untuk berbagi tugas.

    Upaya Jamaludin melestarikan Ncuhi membuat kawasan ini menjadi salah satu obyek wisata di Bima. Selain turis dari Amerika Serikat, Jerman, Austria, Belanda, dan Jepang, banyak peneliti sosiologi dan antropologi yang menjadikan Ncuhi sebagai obyeknya.
                                                                                                                             
                                                               Sumber:  http://oase.kompas.com

    Friday, March 30, 2012

    Puisi Buat Kakek dan Nenekku


    Hari beranjak senja
    Kamipun kembali keperaduan
    Raga yang sudah tua renta
    Tidak mampu lagi berjalan

    Ketika usia menjadi kendala
    Kami hanya bisa berdoa pada TUHAN
    Untuk masih bisa diberi nyawa
    Apa yang masih bisa kami lakukan

    Wahai raga yang mulai renta
    tetaplah disini pada tuan
    Kami disini tetap meminta
    Agar tetap diberi kekuatan




    Puisi Untukmu Kakekku Yang Renta


    Kau duduk seorang diri
    Menghitung hasil keringatmu
    Kau tak pernah mengeluh
    Dengan penghasilan tak seberapa

    Kau tidur seadanya
    Dengan tikar basah pun cukup
    Kau menggigil saat tak ada selimut
    Bertahan untuk esok hari

    Perut berbunyi saat tengah malam
    Hasil keringatmu cukup makan seadanya
    Nikmatilah hidupmu karna itu permberian allah
    Kar naNnya kau bisa tetap bernafas

    Budaya Gotong Royong di Mbawa

    Sebagai Orang Mbawa Asli saya  sangat bahagia bercampur haru melihat semangat gotong royong yang diperlihatkan oleh ama ro ina, ama ompu ro ina wa'i, cina ro angi daita di desa mbawa. Tanpa mengenal pamrih, masyarakat di mbawa begitu antosiasnya membantu masyarakat lainnya dalam pekerjaanya, Misalnya Membangun rumah, rehap rumah, acara-acara keluarga (nikah dll), sampai kepada bercocok tanam, mereka selalu bekerja sama tapi pekerjaan yang satu ini harus di balas maklumlah kalau bercocok tanam dan musim panen kan orang pada sibuk masing-masing. jadi kita harus membalasnya apabila pekerjaan kita sudah selesai artinya kalau orang membantu kita bercocok tanam selama dua hari, kitapun harus membalasnya dengan ikut bercocok tanam selama dua hari kepada orang yang membantu kita tadi. Mungkin contoh dan cara - cara seperni ini perlu di teladani oleh kampung, dan desa-
    desa lain yang ada di kabupaten bima. Dengan bekerja sama seperti ini seberapapun berat pekerjaannya pasti dapat terselesaikan dengan baik. Orang yang dibantupun tidak perlu membayar kepada yang membantu tinggal bagaimana caranya yang dibantu menyiapkan konsumsi orang yang membantu misalnya nasi, lauk, rokok, kopi, teh, dan bahkan daun siri karna orang-orang tua masih suka kunyah daun sirih di mbawa.
    Terus terang saja saya katakan bahwa mungkin tidak ada kampung lain yang seindah Desa mbawa, dengan kesederhanaan dan kebersamaan yang begitu tinggi menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bersama. Saya hidup di perantauan selama enam tahun ini tidak pernah sekalipun saya melihat masyarakat setempat hidup bergotong royong seperti yang ada kampungku tercinta "Jayalah Kampung Halamanku, Aku Rindu Padamu". Kehidupan ditempat perantauan selalu hidup dengan urusan masing - masing sehingga untuk hidup saling bergotong royong sangat minim. Semoga Masyarakat di mbawa saling membantu satu sama lainya walaupun tidak bisa membantu dengan materi (uang dan harta), membantu dengan tenagapun jadilah.

    Gereja Tertua di Bima

    Sebagian besar masyarakat Bima tidak tahu bahwa terdapat gereja tertua di Kabupaten Bima. Masyarakat bima pada umumnya hanya tahu Gereja Katolik Maupun Gereja Protestan hanya terdapat di kota Bima saja.  Jangan Salah..! Gereja tertua malah berada di pelosok negeri Bima yaitu di Desa Mbawa Kecamatan Donggo Kabupaten Bima. Kok Bisa yah..? Sejak Kapan Gereja Itu ada Di Donggo...?. Kok Gerejanya Kelihatan Baru..?. Apabila anda ingin tahu tentang sejarah berdirinya gereja di mbawa silahkan ke mbawa aja, anda bisa tanyakan langsung pada orang tua yang ada di sana atau bisa tanya ke guru agama Katolik di sana yang merupakan orang asli mbawa yang namanya Ignasius, Karna kalau saya yang jelaskan malah kurang informasinya. Gereja tersebut kelihatan baru ya...karna memang gereja tersebut sudah di ganti atau direhap total makanya kelihatan baru. Dengan adanya Pastor dan guru agama di mbawa, keinginan masyarakan mbawa yang beragama katolik untuk sembahyang cukup besar, ini terlihat dari begitu antosiasnya masyarakat disana untuk mengikuti misa setiap hari minggunya. Mulai dari anak-anak, remaja , orang dewasa, orang tua, bahkan kakek-kakek bersemangat untuk pergi sembahyang ke gereja, karna memang kedua tokoh inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat mbawa untuk memimpin mereka.

    Batu Sampandi


    Mungkin anda yang melihat batu ini terheran-heran kenapa sih batu seperti ini di posting di blog ?. jangan heran dulu sebelum saya jelaskan. Mungkin di mata anda batu ini kelihatannya biasa-biasa saja, tetapi bagi masyarakat mbawa, batu ini merupakan batu gaib. Kenapa bisa gaib ? dan apa kegunaannya?. simak baik-baik penjelasan saya. Sebenanya batu ini adalah batu biasa saja yang diambil dari sungai, tetapi dengan acara ritual tertentu bisa menjadi gaib dan sakral. Di bawah batu ini terdapat benda tertentu yang dibungkusi kain kafan sengaja disimpan oleh orang pandai yang bertujuan untuk menjaga rumah dari pencurian dll. batu ini tidak boleh di injak apabila terlanjur diinjak maka yang menginjak harus segera meludah ke batu tersebut agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Biasanya batu seperti ini ditempatkan di belakang atau di depan rumah seseorang yang memiliki rumah yang berukuran besar (Uma Ruka) supaya terhindar dari pencurian dll, karna orang jaman dulu beranggapan bahwa yang memiliki uma ruka adalah orang kaya sehingga selalu diincar oleh sang pemangsa malam alias pencuri walaupun kasus pencurian di mbawa sangat sedikit tetapi tuan rumah tetap berjaga-jaga dengan menanam batu sampandi tersebut dirumahnya.

    Menumbuk Padi dengan Cara yang Unik

    Menumbuk padi dengan satu atau dua orang dalam satu Lumbung (Nocu (bahasa bima)) adalah wajar, tetapi kalau yang numbuk lebih dari dua orang bahkan sampai empat orang dalam satu lumbung itu baru luar biasa. Pada awalnyasih ada enam orang yang numbuk beras tersebut tapi karena saya ndak kepikiran untuk mengabadikannya dengan kamera, maka saya hanya mendapati empat orang saja. Foto di samping merupakan kerja gotong royong para ibu-ibu menumbuk beras ketan yang digunakan  untuk acara keluarga dirumah tersebut, biasanya kalau ada acara keluarga para tetangga berdatangan untuk membantu, misalnya menumbuk beras, mengambil air, ada yang memasak, ada yang mengupas kelapa dll, pokoknya masyarakat donggo khususnya mbawa dan tolonggeru sudah terbiasa melakukan gotong royong semacam itu dan mengambil bagian kerjanya masing - masing tanpa disuruh dan diperintahkan sehingga bisa dibilang masyarakat donggo sudah menyatu jiwanya dengan saling menolong dan bergotong royong.


    Thursday, March 29, 2012

    Keunikan Donggo dengan berbagai Legendanya


     Donggo Mbawa adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal yaitu kisah Putri La Hila.

    La Hila adalah nama Putri cantik anak dari raja Donggo dahulu kala, La Hila mempunyai rambut sepanjang 7 buah bambu dan paras cantiknya sangat menggoda para Raja yang melihatnya, kejadian yang melegenda dari La Hila yaitu dia dikubur hidup-hidup karena dia tidak ingin menerima lamaran dari salah satu Raja Bima, setelah kuburannya di buka ternyata jasad La Hila telah hilang, hingga sekarang masyarakat Donggo mempercayai bahwa La Hila sering menampakkan diri dengan wujud wanita cantik.

    Di Donggo masyarakatnya masih menjada adat istiadat leluhurnya sehingga masih terdapat rumah yang dulunya bertempat tinggal kepala suku atau di sebut Ncuhi Donggo yang terdapat di Donggo Mbawa, ada dua agama yang dianut oleh masyarakat Donggo yaitu Kristen Katolik dan Islam, penganut agama Katolik di Donggo yang uniknya yaitu mereka memakai nama Islam akan tetapi agamanya Katolik.

    Ada cerita rakyat yang menarik lagi di Donggo yaitu dahulu kala sebelum terbentuknya kerajaan Bima, Raja dari Pulau Jawa yang dulu pernah berjanji akan mengirim anaknya untuk memimpin tanah Mbojo (sebutan tanah Bima dahulu kala), sang Raja mengirim kedua anaknya ke Bima dengan sebatang bambu, kemudian di pinggir pantai Donggo hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua renta dan belum mempunyai anak, tiap malamnya mereka berdua mendengarkan bunyi gendang yang sangat besar, dan mereka berdua pun memeriksa dari mana asal suara gendang tersebut tetapi mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.

    Ke esokkan harinya Ompu (panggilan sang suami) pergi kepinggir laut untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan sebatang Bambu kemudian Ompu mengambilnya membawa pulang kerumahnya, malam harinya suara gendang tersebut masih ada Ompu beserta istrinya sangat penasaran dari mana suara gendang tersebut. Pagi harinya Ompu akan membelah kayu yang dia kumpulkan dengan sebuah kapak, kemudian pas Ompu ingin memotong Bambu yang dia temukan di pinggir pantai, mengeluarkan suara yang melarang memotong bambu tersebut dan keluarlah dua pangeran bersaudara dari Bambu tersebut yang merupakan anak dari Raja Pulau Jawa yang datang untuk memimpin Bima seperti yang dijanjikan. Kemudian salah satu saudara tertua dari kedua bersaudara itu menjadi Raja Bima yang bernama Indra Zambrud yang menjadi asal usul Raja-raja Bima.

    Rumah Tradisional Donggo

    Bima dan Donggo memang unik. Meski berada dalam satu rumpun wilayah, namun adat dan budaya orang Bima dan Donggo memiliki perbedaan baik dari segi bahasa maupun adatnya. Menurut penelitian Antropologi, Orang-orang Bima(Mbojo) yang mendiami sebelah timur dan selatan teluk Bima merupakan keturunan campuran yang berasal dari Melayu dan suku-suku lainnya. Sedangkan orang-orang Donggo Ele( di gugusan pegunungan La Mbitu) dan Donggo Di (di gugusan pegunungan Soromandi) merupakan penduduk asli Bima yang telah menyinggir ke daerah pegunungan karena cenderung mempertahankan budaya leluhur.

    Salah satu dari perbedaan itu adalah dari seni arsitekturnya yaitu rumah. Meskipun saat ini, bentuk-bentuk rumah di Donggo sudah jarang terlihat seperti bentuk aslinya dulu dan sudah mengadopsi model rumah seperti rumah orang-orang Bima dan rumah batu atau rumah permanen arsitektur masa kini.

    Tetapi pada zaman dulu, Rumah Tradisional Donggo memiliki keunikan yang membedakannya dengan seni arsitektur Bima. Mereka menyebutnya dengan Uma Lengge. Ada juga yang menyebut dengan Uma Leme (Rumah Runcing) karena bentuknya mirip puncak gunung, yang berbentuk limas. Ada juga yang menyebutnya dengan Rumah Ncuhi( Kepala Suku).Karena disisi rumah tersimpan alat-alat persembahan dan kesenian. Keunikannya adalah atap dan dinding rumah merupakan satu kesatuan. Jadi atapnya juga berfungsi sebagai dinding rumah. Atap dan dindingnya terbuat dari alang-alang yang dirajut tebal. Bagian rumah berfungsi sebagai tempat tidur, berbentuk segi empat sama sisi ukuran 2 x 2 meter. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat memasak, menyimpan padi dan segala jenis bahan makanan seperti padi dan palawija. Rumah bagian bawah( lantai) berfungsi sebagai tempat musyawarah keluarga baik dalam rangka upacara perkawinan, upacara adat maupun kematian.

    Pintu rumah berada di bagian yang tersembunyi yaitu di pojok atau di sudut ruang atas. Tangga rumah tidak selalu dalam keadaan terpasang. Dalam kebiasaan masyarakat Donggo, ada sandi atau tanda yang diketahui oleh kerabatnya dari cara mereka menyimpan tangga. Apabila tangganya dibiarkan terpasang, berarti penghuninya telah pergi ke ladang dan akan kembali dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Apabila tangga disimpan agak jauh dari rumah, hal itu berarti penghuninya telah pergi jauh dan akan kembali dalam waktu yang lama. Apabila ada anggota keluarga yang meninggal, jenazahnya tidak boleh diturunkan melalui pintu dan tangga. Tetapi diturunkan melalui atap rumah. Di halaman rumah harus ada beberapa buah batu sebagai tempat tinggal roh leluhur yang sudah meninggal. Dan pada waktu tertentu diadakan upacara pemujaan roh yang disebut Toho Dore.

    Antropolog Albert dalam kunjungannya di Bima pada tahun 1909 menamakan rumah tersebut A Frame (Kerangka Huruf A). Rumah seperti ini berfungsi sebagai penyimpan panas yang baik, mengingat daerah Donggo adalah daerah pegunungan yang berhawa dingin. Saat ini rumah seperti ini masih ditemukan di desa Padende dan Mbawa. Perlu upaya pelestarian agar rumah – rumah ini tidak hilang tinggal kenangan bagi generasi. Karena wajah Donggo adalah wajah Bima dengan segala keunikan dan romantika sejarahnya

    Monday, January 30, 2012

    NAMA TARI TRADISIONAL BIMA


    1. Hadrah:
         merupakan tari tradisional Bima yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT. Hadrah yang dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa masuk ke Bima sekitar abad XIV sejak masuknya Islam ke daerah itu
    2. Kanja:
    Tari tradisional Bima yang diciptakan Sultan Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1673 setelah mendapatkan inspirasi sejarah masuknya Islam ke Bima. Kanja berarti tantang, karena dalam tarian ini ada gambaran pertarungan dua orang panglima yang tangguh. 

    * Karaenta: Tari tradisional Bima diawali dengan sebuah lagu berbahasa Makassar yang bernama Karaengta. Penarinya anak kecil berusia sekitar 10 tahun, tidak memakai baju, kecuali hiasan yang dalam bahasa Bima disebut Kawari atau dokoh. Tari hiburan ini merupakan dasar untuk mempelajari tarian kerajaan Bima yang lain.

    3. Katumbu:
    Tari tradisional Bima yang berarti berdegup ini menggambarkan keluwesan dan keterampilan remaja putri. Tarian ini diperkirakan sudah ada sejak abad XV dan ditarikan keluarga istana. 

    4. Toja:
    Tari tradisional Bima yang diangkat dari legenda Indra Zamrud. Penciptanya Sulta Abdul Kahir Sirajuddin tahun 1651. Tari ini menggambarkan lemah-gemulainya penari yang turun dari khayangan. * Lenggo: Tari tradisional Bima yang berarti melenggok, yang telah diadatkan dalam upacara Sirih Puan setiap perayaan Maulid. Tari ini menceritakan bagaimana guru agama Islam mengadakan penghormatan kepada muridnya, yaitu Sultan sebagai pernyataan saling menghormati. 

    5. Lengsara:
    Tari tradisional Bima yang dahulu dipertunjukkan dalam sidang eksekutif dan upacara Ndiha Molu (Maulid Nabi). Tari ini terakhir dipertunjukkan pada tahun 1963 dalam perkawinan keluarga raja, dan sekarang telah dihidupkan kembali. 

    6. Mpa'a:
    Tari rakyat Bima yang berisi gerak-gerak silat.

    7. Sere:
    Tari tradisional Bima yang berarti mengajak berperang yang semula ditarikan perwira perang bergelar Anangguru Sere. Tari ini dipertunjukkan di arena yang cukup luas di hadapan tamu yang berkunjung ke Bima.



    Tuhan tidak menjanjikan hari-harimu tanpa duka, kegembiraan tanpa penderitaan, tetapi ia sungguh menjanjikan kekuatan untuk menghadapi hari-harimu, penghiburan bagi air matamu, dan terang bagi jalanmu