Di Donggo hidup sebuah komunitas masyarakat yang memiliki keunikan tradisi tersendiri di antara orang Bima pada umumnya. Dou Donggo biasanya dikaitkan dengan indigenous people dan sistem kepercayaan lama sebelum terbentuknya kesultanan Islam Bima.
Saat ini Donggo hanyalah nama sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Bima yang letaknya cukup terpencil, Namun demikian Dou Donggo telah menyebar diperkampungan-perkampungan yang terserak sepanjang lereng pegunungan Doro (Gunung; red) Soromandi yang berada disebelah barat teluk Bima memanjang hingga ke wilayah Sanggar (sebuah kerajaan lama yang konon raib terkubur oleh letusan Tambora pada tahun 1815) yang berada di kaki Tambora di utara daerah kabupaten Dompu. Ada beberapa gunung di sepanjang deretan pegunungan itu dengan puncak tertingginya Doro Lambuwu dengan ketinggian 1582 m dpl.
Kata Donggo, menurut beberapa sumber, secara etimologi memiliki arti ”yang diserah terimakan”. Tidak jelas benar apa makna kata ini sesungguhnya, terutama berkaitan dengan konteks etimologis nya.
Ketika kesultanan Bima terbentuk pada tahun 1620an, wilayah Donggo yang secara otomatis berada di bawah kekuasaan kesultanan Bima, oleh suatu sebab wilayah ini yang di pimpin oleh seorang Ncuhi seakan kurang terperhatikan oleh pihak kesultanan. Ada beberapa hal yang membuat Donggo seakan “berbeda” dari orang Bima pada umumnya. Hal yang paling menyolok adalah sebagian besar masyarakat Donggo menganut agama Katholik atau masih terikat dengan kepercayaan lama yang disebut Marafu.
Hal itu tentu saja menjadi pembeda yang signifikan, sebab masyarakat Bima pada umumnya yang memiliki akar kesejarahan cukup panjang sebagai sebuah kesultanan Islam mengklaim bahwa Agama Islam adalah agama resmi “Negara”. Maklumat tersebut dikumandangkan oleh Sultan Salahudin sebagai Sultan pertama Bima yang mewajibkan penduduknya untuk memeluk agama Islam. Lalu mengapa kepercayaan lama dan agama Katholik masih berkembang luas di masyarakat Donggo?
Tofografi alam yang cukup ekstrim rupanya menjadi faktor utama mengapa wilayah Donggo seakan luput dari jangkauan pengawasan kesultanan Bima. Karakter Dana Mbojo (Tanah Bima) dan pulau Sumbawa pada umumnya memang memiliki tipologi terdiri pegunungan berbatu dan kering. Namun terdapat pula beberapa wilayah, terutama lembah atau ngarai di pegunungan-pegunungan tersebut —biasanya menjadi alur sungai yang mengaliran air dari mata air dipeguungan-pegunungan– yang merupakan daerah subur. Di lembah atau perbukitan kecil disekitar lembah tersebut biasanya orang Bima mendirikan perkampungan dan membuat sawah atau berladang. Sebagian yang lain, terutama masyarakat pendatang dari suku Bugis, Bima atau dari Makassar mendirikan perkampungan di teluk Bima atau di pantai-pantai dan teluk yang ber-ombak datar serta terlindung seperti di daerah Sape dan sekitarya.
Sementara itu, biasanya Dou Donggo justru membangun perkampungannya di lereng bukit mendekati mata air. Perkampungan Mbawa misalnya, yang merupakan perkampungan tertua –dan dianggap sebagai kampung utama atau kampung induk sebagai asal-usul Dou Donggo– tempat ‘Nuchi’ bertahta, berada disebuah lereng yang diapit dua jurang yang sangat dalam. Hal tersebut tentu menyulitkan siapapun untuk menjangkau wilayah itu dengan kekuatan fisik maupun senjata. Letaknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan –dan menyulitkan— dianggap kurang menguntungkan secara ekonomis bagi pihak kesultanan. Karena itu pulalah di era kesultanan, daerah Donggo yang sebagian besar berhutan lebat serta bagian lainnya kering kerontang juga dijadikan tempat pembuangan tawanan perang atau budak-budak terutama dari daerah Manggarai dan flores yang merupakan daerah takhlukan kesultanan Bima.
Dalam konteks sosiografi masyarakat Bima, boleh dibilang jika orang Donggo adalah masyarakat gunung yang sebenarnya. Mereka mewarisi sifat masyarakat berburu dan meramu. Jikapun mereka mengenal sistem pertanian, umumnya mereka adalah masyarakat perambah yang bercocok tanam secara berpindah-pindah. Oleh satu sebab, biasanya karena gangguan dari binatang buas atau kejahatan, mereka kemudian membuat perkampungan tak jauh dari ladang-ladang yang berada di lingkar bukit tempat mereka bercocok tanam. Dari situlah penyebaran orang Donggo ke wilayah lain (jauh di luar perkampungan induk) terjadi, seperti di Kampung “Tolo Nggeru, Palama, dan Nggere kopa" yang letaknya lebih di bawah atau di selatan dan berada diperbatasan dengan Kabupaten Dompu. Pola hidup orang Donggo tersebut dalam kontek sosio-antropologis akan terlihat jelas dalam sistem kepercayaan dan tata sosial mereka.
Tolong di hapus blog ini...blog ini pemalsuan sejarah..
ReplyDeletemenurut yang saya elaborasi dari berbagai turunan atau rumpun kata Donggo. di Bima ada banyak kata Donggo, bukan hanya kata donggo Di dan donggo Ele yang ada di bima. ada di lambu, wilayah woha dan belo seperti Tonggo ndoa, tonggo risa yang kalo disimpulkan adalah lebih dekat dengan makna gunung. Dan dari hasil perenungan tersebut saya juga mendapatkan tiga penamaan wilayah di Bima berdasarkan topografi daerah. yaitu DONGGO Yaitu masyarakat Bima yang mendiami wilayah pegunungan atau dataran tinggi, PENA Yaitu masyarakat Bima yang mendiami wilayah dtaraan(rendah) dan PALI masyarakat Bima yg mendiami wilayah pesisir
ReplyDeletetrima kasi pak fahrurizki sudah berkunjung di blog sederhana ini. bapak mungkin beranggapan bahwa posting di atas adalah pemalsuan sejarah, tetapi bagi kami orang donggo khususnya orang mbawa beranggapan bahwa sejarah di atas benar adanya, karna sejarah tsb sudah diceritakan oleh orang tua kami turun temurun bahkan untuk anak cucu kami berikutnya. trima kasi
ReplyDeletepak agusaris rifai, mantap!!!!!!!!!. saya setuju.
ReplyDeletekalo bisa.. mungkin anda menemukan sumber-sumber yang berkaitan dengan ucapan atau ocehan sebagian org tentang "LAKO DONGGO" untuk diluruskan... karna sbgai org donggo kita tentunya tersinggung..tapi sya pribadi cukup sabar mendengar ucapan atau ocehan tadi...walau hati terasa sedih dan hampir menangis, dalam agama manapun kita tidak boleh memperolok-olok orang lain, atau kelompok lain. trims... blok anda sangat bermanfaat...
ReplyDeleteKebanyakan dari teman-teman yang coment tidak setuju dengan postingan ini,saya adalah salah satu orang yang setuju sekali dengan postingan ini sudah menambah wawasan saya,terima kasih mas atas sharenya..
ReplyDeleteKebanyakan dari teman-teman yang coment tidak setuju dengan postingan ini,saya adalah salah satu orang yang setuju sekali dengan postingan ini sudah menambah wawasan saya,terima kasih mas atas sharenya..
DeleteKebanyakan dari teman-teman yang coment tidak setuju dengan postingan ini,saya adalah salah satu orang yang setuju sekali dengan postingan ini sudah menambah wawasan saya,terima kasih mas atas sharenya..
ReplyDeleteMohon maaf bos...bukan bermaksud utk mencapuri namun karena saya putra Asli desa mbawa tepatnya dusun sangari..
ReplyDeleteAlangkah baiknya jika menulis artikel tolong rujukanya jelas.
Jadi bukan berdasarkan renungan tpi lebih pada berdasarkan fakta,data serta ada rujukanya jelas..
Sekian.