Sebuah sejarah harus mengungkapkan realitas sebenarnya atas segala sesuatu yang terjadi pada masa kejayaannya. Sejarah yang dikaburkan merupakan kejahatan terhadap generasi. Sebab sejarah bukan sekedar bacaan belaka namun menggambarkan identitas kita dalam fase kehidupan hingga terbentuk karakter diri dan lingkungan sekitar kita. Ketika sejarah dijadikan sebuah alat dalam melanggengkan kekuasaan, maka hal tersebut adalah fatal adanya. Karena suatu saat, gemerasi-generasi kemudian akan membongkarnya. Baru-baru ini, kami (Tambora Study Club-Makassar) mencoba membongkar tabir kejayaan masa lalu dana mbojo yang terjadi pada tahun 1769 – 1792 pada saat kesultanan Mbojo melakukan penaklukan terhadap daerah manggarai. Mengungkap kembali keberadaan ASI Mbojo yang ada di Reo serta hubungan keterkaitan adanya Tapak Kahampa. Sebuah tugas Berat bagi kami (TSC) untuk melakukan penelitian sejarah kemudian dipertanggungjawabkan keabsahan penelitian secara otentik. Tim Peneliti yang di Ketua-I oleh Ketua Umum TSC makassar memulai mengungkap tabir misteri tersebut dengan melakukan study Literatur di Makassar-Gowa, Ende-Manggarai serta Bima. Tak sedikit literature yang didapat untuk mengerucutkan judul tersebut. Dalam study Literatur, Tim dibagi 3 yaitu Tim Makassar, Tim Bima dan Tim Reo-Manggarai. Akhirnya pada tanggal 26 Mei 2008 kemarin seluruh Tim berada di Manggarai-Reo untuk melakukan eksplorasi lapangan atas temuan Literatur tersebut. Pada hari selasa, 10 Juni 2008. seluruh personil Tim Berangkat ke Bima untuk melakukan Sinergisitas atas temuan-temuan lapangan dengan para sejarahwan, Budayawan serta Orang Dalam Kesultanaan. Sebuah hasil yang mencengangkan terkuak. Setelah terjadi penaklukan Reo oleh kesultanan Bima pada tahun 1762 – 1769. kemudian tidak pernah lagi ada catatan atas penaklukan Reo Tersebut hingga tahun 1890. 100 tahun tanpa catatan sejarah. Padahal menjadi sebuah pertanyaan bagi kami ketika menemukan bukti otentik keberadaan ASI di Reo yang dinamakan ASI MBOJO POTA. Terdapat Tapak Tangan Kahampa, beberapa Kuburan Kuno penguasa Bima dan Gowa, semua Dusun/Kampung di Reo menggunakan karakter nama Mbojo. Bahasa keseharian Reo-Manggarai adalah bahasa Mbojo Asli. Kenapa tidak ada yang mengungkap dan kenapa tidak pernah diungkap dalam berbagai catatan sejarah Bima? Berikut Catatan yang kami rangkum : Catatan Sejarah Yang Ada Dalam sejarah kebudayaan Mbojo yang tertulis dalam beberapa Buku seperti : BO' Sangaji Kai, Catatan kerajaan Bima, yang dirangkum oleh Henri Chambert-Loir dan Hj Siti Maryam R. Salahuddin (yayasan Obor Indonesia 1999), Buku BO' Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima (Masir Q Abdullah; 1982), Kerajaan Bima Dana Mbojo (H. Abdul Tajib BA; 1990), Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (Dami L Toda; Ende Nusa Indah 1999). Menceritakan tentang sejarah penaklukan Manggarai oleh kerajaan Bima yang dimulai sejak tahun 1760. Dalam BO' Sangaji Kai mangatakan bahwa ; pada 15/11/1760, Sultan Abdul Kadim menyuruh Tureli Bolo Ismail dan sejumlah pejabat beserta rakyat 1.500 orang untuk menuju gunung Talo di Manggarai sebagai perwakilan kesultanan Bima; mereka disuruh mendirikan Kota dan Benteng … 10 hari kemudian utusan kesultanan Bima sampai di Bandar dalam sungai Gunung Talo Pada Masa tersebut hingga 22/05/1769 dalam catatan BO' Sangaji Kai bahwa "Dalu Todo (Kepala Dusun Todo) dan Dalu Leda (Kepala Dusun Leda) diberikan sebuah surat resmi dari Sultan Bima (Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah atau Ma Wa'a Taho) sebagai tanda kekuasaan Bima atas Pota. Sebelumnya, pada 15/03/1769, Tureli Bolo sebagai Punggawa besar di Pota dan Reo melakukan penyerangan terhadap Benteng Pota dan benteng Pawo hingga akhirnya pada 22/04/1769 Benteng Pota dan Pawo dapat direbut, Daeng Tamimang dan Karaeng Balak menyerahkan diri. Pada saat itu pula Sultan Abdul Kadim mengangkat Daeng Malajang sebagai Papu (Ketua Masyarakat Makassar di Reo) Antara tahun 1760 hingga 1769 menurut catatan D.F. Van Braam Morris (Nota Van Toclichting Behoorende Bij Net Contract Gesloten Met Het Landschap Bima Op Den 20sten October 1886) Kesultanan Bima menguasai Manggarai atas dua wilayah yaitu Reo ndan Pota. Reo memiliki tujuh wilayah distrik/dusun (Reo, Toda, Renda, Kole, Koela, Barie, dan Weas) sedangkan Pota terbagi atas enam distrik/dusun (Babi, Rioeng, Biti, Tjitjir, Ramoe dan Tjongkar). Kepada seluruh Dalu (kepala kampung) yang dilewati oleh rombongan pasukan kesultanan Bima yang dipimpin oleh raja Turteli Bolo selaku yang mewakili Sultan Bima, diharuskan bersumpah dan meminum air pembasuh keris tatarapang yang dipakai oleh Anangguru (Ketua Pasukan) Sape La Nipa serta disumpah bahwa "dengan sejujur-jujurnya bahwa kami sekalian menyatakan, hanya tanah Bima menjadi Nyawa, Tanah Manggarai jadi Tubuh, Tanah Bima jadi angina, Tanah Manggarai menjadi Hamba, sekalian isinya jadi daun dan kayu. Demikian pesan orang tua-tua terdahulu hingga sekarang". Dalam berbagai catatan naskah kuno yang ada di Bima tidak disebutkan berapa Dalu yang disumpahi dan kemudian ditaklukan dengan tanpa perlawanan maupun peperangan. "…Demikian pesan orang tua-tua kami terdahulu…" yang dimaksudkan adalah keturunan dari Makipiri Solo (anak dari Manggampo Donggo) yang sebelumnya telah melakukan penaklukan tanah Manggarai. Dari berbagai buku tidak terdapat catatan kapan tepatnya Makapiri Solo Menaklukan tanah-tanah Timur (Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, dan Komodo). Hanya dikatakan bahwa Makapiri Solo melakukan penaklukan tersebut atas perintah ayahanda-nya yaitu Mawa'a Bilmana yang merupakan Raja Bima ke- 11. kemudian menjadi Tureli Nggampo (Raja Bicara). Makapiri Solo berupaya meluaskan kerajaan yang kemudian menjadi tradisi hingga pada kepemimpinan Sultan ke- 2 (Abi'l Khair Sirajuddin), Mantau Uma Jati. Selama itu pula tanah-tanah Timur dating ke Bima membawa upeti hingga sampai masa kepemimpinan Sultan Abdul Kadim (yang memerintah pada tahun 1736) Dari catatan sejarah yang ditemukan bahwa menaklukan kembali Reo dan Pota oleh kesultanan Bima adalah akibat adanya gerakan kudeta/pemberontakan yang dilakukan oleh Daeng Tamimang yang bergelar Papu (sebutan bagi pimpinan orang Goa di Manggarai). Hampir seluruh distrik di Reo dan Pota yang dipimpin oleh Dalu (kepala Kampung di Reo) dikuasai oleh Papu. Sehingga misi penaklukan kembali tersebut adalah membinasakan orang Mengkasara (Makassar). Sedangkan dari beberapa catatan sejarah yang ada, tidak ada sikap tegas dari Sultan Goa Sirajuddin yang pada saat itu menjadi sultan di Goa. Sebab Papu adalah perwakilan Kesultanan di Goa di Manggarai yang diangkat oleh sultan itu sendiri. Merunut pada sejarah yang terjadi bahwa Manggarai adalah pertanda Raja Goa dan Raja Bima esa, maka hamba Raja Bima dan Raja Goa adalah satu jua adanya (Manggarai adalah symbol persaudaraan masyarakat Goa dan Bima). Dari catatan Lontara Goa yang kemudian dicocokan dengan BO' Sangaji Kai bahwa raja Goa Tumenanga Rasorayu datang ke Bima (tidak ada penjelasan Tahun), bertemu dengan raja Bima sultan Abdul Kahir (Sultan Bima ke- 1 Mantau Bata Wadu) yang memerintah pada tahun 1620-1640. Pada saat itu diberikannya wilayah Pota sampai Sungai Ramo kepada Sultan Bima. Pada saat Abi'l Khair Sirajuddin atau Mantau Uma Jati memerintah ( 1640-1682) memberi tanah Reo tersebut (untuk dikelola) kepada cucu tirinya Karaeng Bontowa hingga Barie, tetapi isi dan upetinya tidak pernah dibagikan kepada Sultan Bima. Kemudian tanah tersebut dikembalikan lagi kepada Sultan Bima Hasanuddin Muhammad Ali Syah atau Mabata Bou. Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah yang menikah dengan Karaeng Bissangpole menyerahkan tanah Reok yang dikembalikan tadi kepada adik istrinya yaitu Daeng Mambila dan Daeng Mangakili. Pada saat tanah Reok diserahkan kepada Mamora yaitu anak dari Daeng Mangaliki (yang telah dipengaruhi oleh Belanda) berusaha menguasai tanah Manggarai dengan sewenang-wenangnya. Hingga pada akhirnya Sultan abdul Kadim mengambil kembali tanah Reok tersebut dibawah penguasaan kesultanan Bima yang diwakili oleh Tureli Bolo dan kemudian dilanjutkan oleh Tureli Donggo. Ketika masa penaklukan kembali tanah Manggarai oleh Kesultanan Bima (1760 – 1769). Sultan Bima Abdul Kadim melakukan perjalanan dari Bima menuju Reo dan Pota dua kali. Sedangkan Sultan Goa tidak pernah sekalipun datang. Perjalanan pertama tidak tercatat dalam catatan naskah Kuno sejarah Bima. Sedangkan perjalanan ke dua adalah perjalanan bersama rombongan perang yang cukup banyak dalam rangka menjatuhkan benteng Pota dan Benteng Pawo yang bersikeras menentang pasukan Bima. Yang kemudian setelah ditaklukan, sultan Bima melanjutkan perjalanan menuju Goa. Ada catatan yang belum pernah terjawab yaitu ketika Gubernur Belanda bertanya kepada sultan Abdul Hamid yang berkunjung ke Makassar pada tahun 1792 (21 Tahun Kemudian) dengan menggunakan perahu Waworada (perahu yang sama digunakan oleh sultan-sultan sebelumnya). Pertanyaan Gubernur Belanda tersebut adalah tentang keadaan Manggarai dan Pemberontakan yang dilakukan oleh Jeneli Sape. Sedangkan dalam beberapa catatan Kuno ketika Manggarai ditaklukan kembali pada tahun 1769 hingga 1792 tidak pernah lagi dibahas/dicatat Catatan Sejarah Yang Tidak Pernah Terungkap Ketika Tim Peneliti melakukan eksplorasi di Manggarai, Tim melakukan interview dengan beberapa warga Reo yang diakui sebagai keturunan Galarang Dara, Galarang Sakuru, Galarang Mange Maci, Galarang Sape, Galarang Wera serta Galarang Santi yang kini mendiami Reo. Data lisan tersebut menjadi data awal peneliti. Atas kesaksian turun temurun tersebut, di Pota terdapat puing ASI POTA, 30 % bangunan fisik masih bias dikenal. 20 % sisa terbakar dan 50 % telah dirubuhkan dan kemudian diatasnya dibangun perkantoran. Pengakuan dari para keturunan Galarang – galarang di Reo, bahwa masih terdapat Naskah Kuno yang merupakan catatan sejarah yang sempat diselamatkan ketika ASI Pota terbakar. Dan yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan Naskah Bima Kuno tersebut adalah dari keturunan Galarang Mangge Maci (hal ini sesuai dengan pernyataan: "…banyak Naskah BO' pernah disusun di Reok pada tahun 1781 atas perintah Wakil Raja Bima di Manggarai, termasuk naskah `Makassar III'…; hal xxxi – xxxii; BO' Sangaji Kai). Catatan naskah Kuno sejarah Bima yang diyakini oleh masyarakat Reo tersebut masih ada. Yang merupakan titik terang untuk mengetahui sejarah berdirinya ASI Pota maupun Tapak Tangan `Kahampa' yang ada di Reo. Termasuk untuk mengungkap identitas keberadaan dan nama asli Makapiri Solo yang juga diyakini oleh masyarakat Reo sebagai orang yang diutus oleh kerajaan Bima kemudian melakukan penimbunan terhadap teluk kendindi yang kemudian menjadi daratan Reo (sebelumnya Reo adalah Reok yang merupakan bagian teluk Ramo). Keberadaan makam para Turelui, para Anangguru, para Bumi maupun para Galarang yang ada di Reo merupakan bukti otentik sejarah yang hingga saat ini belum terkuak. Ketika Sebuah Misteri Terbongkar Rangkuman dibawah ini merupakan asumsi Tim peneliti yang di senergiskan dengan beberapa catatan sejarah yang ada. Baik catatan dari beberapa buku yang ada di Manggarai, Makassar maupun Bima. Dari data serta penjelasan tersebut diatas bahwa daerah Reo merupakan tapak sejarah Mbojo yang diendapkan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak ingin menjadikan Manggarai sebagai bagian dari sejarah Bima. Sejarah yang tidak pernah diungkap selama 1969 – 1792 (21 Tahun) dalam berbagai literature sejarah, akan coba kami ungkap sedemikian rupa. Manggarai adalah sebuah pulau yang kemudian disebut sebagai pulau Flores (NTT). Terdapat tapak sejarah Bima didaerah tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya ASI Pota Mbojo serta Tapak Tangan Kahampa, ada juga makam-makam kuno yang di yakini sebagai makam para petinggi kesultanan Goa dan kesultanan Bima. Yang lebih identik lagi adalah nama-nama kampong di kec Reo kab Manggarai Tengah menggunakan nama-nama dalam bahasa Mbojo. Misalnya, kampung Bari (Baris), kampung Sigi, kampung Naru, kampung To'I, dll. Bukankah itu adalah sebuah kejelasan adanya keterkaitan antara Bima dan Reo? Namun setelah 21 tahun kemudian (1769-1792) Reo mulai terlupakan. Tidak pernah lagi dibahas dalam catatan Bo' sangaji Kai maupun beberapa buku yang lain. Manggarai diidentikan dengan Donggo, hal itu ketika kita masih mengingat umpatan-umpatan seperti `nggomike pakaro bune dou manggarai', ` sampula nggomike bune dou manggarai'. Dari umpatan tersebut ada kesengajaan sejarah yang tengah diendapkan. Tanpa kita mengetahui kenapa disebut `manggarai ` dalam umpatan-umpatan tersebut. Sebagian para sejarahwan mengatakan bahwa Manggarai adalah tempat pembuangan bagi orang-orang istana kesultanan Bima. Namun dari catatan dan data yang terhimpun, Manggarai hampir sama dengan Tambora, yaitu daerah `mutasi' bagi para petinggi kesultanan yang tidak disukai oleh raja atau mungkin oleh kalangan dalam istana. Jika hal tersebut dibongkar maka aib bagi kesultanan. Sama halnya ketika seminar internasional budaya Mbojo di ruang sidang DPRD Kab Bima pada bulan april 2008 Lalu. Salah seorang narasumber, ahli Naskah kuno dari Universitas Airlangga Surabaya menemukan sebuah catatan hubungan antara kesultanan Bima dengan Kerajaan Malaka (Singapura) pada masa kepemimpinan Sultan Ismail Muhammad Syah (1817-1854). Dalam naskah kuno tersebut dijelaskan bahwa Sultan Ismail pernah melakukan hubungan dagang Opium dan Budak Wanita dengan singapura. Belum selesai dibahas, narasumber lain menyela dan merampas mix yang dipakai oleh narasumber tadi dihadapan para peserta seminar internasional tersebut. Kenyataan lain, bahwa Tapak Tangan `Kahampa' adalah jejak prasasti sejarah Dana Mbojo yang terjadi pada jaman Naka (Jaman Batu). Pada jaman tersebut di Dana Mbojo terdapat kerajaan yang bernama kerajaan KALEPE yang ada di Parado (ilustrasi kerajaan Kalepe baca artikel, Dou Mbojo Atau Dou Bima Kah Kita?). Puing-puing bangunan kerajaan Kalepe tersebut masih ada sampe sekarang, namun catatan sejarahnya tidak pernah ditulis atau dipublikasikan karena berkaitan dengan keberlangsungan kesultanan Bima. Beberapa Budayawan muda local Bima yang berangkat untuk meneliti keberadaan istana kerajaan Kalepe di Parado dilarang oleh Camat Parado dengan alasan yang tidak jelas. Tapak Tangan Kahampa secara historiografi merupakan prasasti jaman Batu (masa Naka; belum mengenal baca dan tulis). Namun beberapa sumber menjelaskan bahwa Tapak tersebut adalah tapak tangan Sultan Bima dalam rangka symbol persaudaraan antara Bima-Goa-Manggarai. `Kahampa' diartikan bahwa `hanya sampai disini pertumpahan darah antara masyarakat Goa-Bima-Manggarai terjadi' Hingga tulisan ini diturunkan, Kami (TSC-Makassar) sedang dalam proses pengumpulan data akhir serta perangkuman penelitian untuk dijadikan Buku. Insyaallah buku yang kami beri Judul ASI POTA & TAPAK KAHAMPA `Sebuah Misteri Tapak Sejarah Mbojo Yang Belum Terungkap'. Akan kami Louching pada penutupan HUT Dana Mbojo ke 367 (5 Juli 2008). Semoga buku tersebut bermanfaat dan menjadi perangkai sejarah Mbojo yang terbengkalai selama ini. Sebab ada kesan bahwa buku BO' Bicara Kai (catatan Ruma Bicara atau perdana Menteri) sengaja diendapkan oleh pihak kesultanan untuk menutupi beberapa aib yang pernah terjadi dalam sejarah Bima. Karena sesuatu yang tidak mungkin apabila BO' Sangaji Kai yang sama tempat penyimpanannya dengan BO' Bicara Kai, selamat dari peristiwa ASI Mbojo terbakar pada tahun 1920-an. Sedangkan BO' Bicara Kai tidak terselamatkan. Terima Kasih, Oleh : R a n g g a (Ketua Umum TSC - Makassar) by www.bimacenter.com