Indonesia termasuk negara yang dikenal sebagai pengekspor kain tenun. Salah satunya adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat yang mempunyai keaneragaman tenunan yang di sebut Sasambo (Sasak, Samawa, Mbojo). Keunikan corak dan bahan kainnya menjadi salah satu daya tarik kain ini diminati hingga keluar negeri, tapi ada yang lebih unik dan cara pewarnaan dan pembuatannya yang masih terbilang tradisional yaitu kain Me`e Donggo (kain hitam Donggo) yang disebut Tembe Compo.
Di balik itu pula ada kisah yang tak kalah unik dalam setiap helaian kain Tembe Compo yang dihasilkan. Menurut Lena salah satu penggiat adat Donggo di Desa Mbawa, akhir pekan lalu, produksi Tembe Compo biasa dilakukan pada saat musim panen tiba karena “Mayoritas mata pencaharian warga Donggo Mbawa adalah petani sawah tadah hujan, sehingga untuk melakukan penenunan tunggu saat panen sawah atau ladang mereka berakhit,” ungkap Lena.
Di desa Mbawa itu setiap rumah pasti memiliki alat tenunannya sendiri, berupa alat tenun manual bernama Muna. Muna itu biasanya diletak di bawah (kolong) rumah panggung, dan para ibu baru akan turun menenun jika ada waktu senggang atau menenun di depan rumah mereka.
Tenunan yang bersifat menyambi itulah yang membuat produksi Tembe Compo tidak bisa diprediksi, sehingga bicara soal memasarkan produk sangat sulit dijangkau masyarakat di sana. Hanya sebagian warga saja yang serius mengelola tenunan Tembe Compo menjadi bisnis, dan dari kelangkaan ini menjadikan Tembe Compo sangat mahal yang harganya dari 200ribu hingga 1 juta rupiah.
Proses pembuatan Tembe Compo ini di mulai dari mengumpulkan kapas kemudian dip roses menjadi benang, setelah benang jadi maka mulailah menenun yang memakan waktu kurang lebih dua bulan hingga tiga bulan, pewarnaan Tembe Compo di lakukan dengan pewarna dari nanah pohon sehingga menjadi warna hitam atau disebut Tembe Me`e Donggo (kain hitam Donggo).
Dari kain yang telah jadi kemudian di olah menjadi Baju Kababu (baju adat Donggo), Tembe Compo dan Selendang Tembe Dala. Sisanya dari pembuatan baju dan selendang untuk keperluan keluarganya sendiri. Bagi masyarakat Mbawa Donggo, mengenakan kain Tembe Compo atau baju Kababu untuk acara resmi seperti pesta perkawinan, adalah suatu hal yang wajib.
Bahkan tolak ukur bagi seorang remaja putri di Mbawa untuk menikah adalah ketika dia sudah bisa menenun. Dan setiap anak putri yang sudah menikah akan diwajibkan membawa Tembe Compo serta baju Kababu, kelak untuk diberikan lagi kepada putrinya yang menikah.
Sumber: Http://budaya.kampung-media.com
No comments:
Post a Comment
Setelah anda membaca postingan di atas, silahkan ketik komentar anda di bawah ini