Tuesday, September 8, 2009

ASAL USUL MASYARAKAT DONGGO

Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang. Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden). Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.  Cerita cikal bakal munculnya masyarakat donggo ini berawal dari cerita tentang kerajaan kalepe. Letak kerajaan Kalepe adalah diwilayah pegunungan Parado yang dibuktikan dengan adanya artifak dan puing-puing reruntuhan Istana kerajaan. Dari beberapa pembuktian yang ada, bahwa kerajaan Kalepe ini ada pada jaman Batu atau Jaman Naka yang merupakan jaman manusia belum mengenal huruf dan tulisan. Kerajaan kalepe inilah yang merupakan kerajaan Dana Mbojo sesungguhnya, sekaligus turun temurun Asli Dou Mbojo. Dari rangkuman cerita yang ada, Kerajaan Kalepe ditaklukan oleh Ncuhi Dara beserta sekutunya.  penaklukan ini, rakyat kalepe melarikan diri kearah Timur dan Barat sebab penyerangan dilakukan melalui arah utara. Yang ke barat hingga ke Tambora kemudian mendirikan kerajaan Peka (putih) di Tambora, sedangkan kearah Timur tidak diketahui. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti peninggalan-peninggalan yang antara lain, wadu pa'a, Karombo (karumbu), Temba Romba, dll. Sebagian masyarakat Kalepe yang tidak mampu lagi melarikan diri kemudian berhenti di Sambori, karena merasa tidak dikejar lagi maka mereka mendiami Sambori hingga sekarang yang kemudian disebut Donggo Ele. Sedangkan para tawanan perang dalam rangka penaklukan kerajaan Kalepe dibuang ke Donggo yang kemudian berkeluarga dan berketurunan sehingga menjadi Donggo Di misalnya saja donggo o'o, donggo kala, sangari, mbawa, tolonggeru, ngerekopa dll . Ada kemungkinan bahwa Ncuhi yang merupakan kepala suku (bukan dewa yang disebutkan) yang memimpin komunitas masyarakat atau dusun. Yang kemudian melakukan penggalangan kekuatan dalam melakukan pemberontakan kepada kerajaan. Penaklukan kerajaan Kalepe oleh Ncuhi Dara yang merupakan kepala dari lima Ncuhi yang disebut Ncuhi Na'e (Banggapupa, Dorowoni, Parewa, Bolo, Dara). Sedangkan munculnya Ncuhi yang lain seperti Ncuhi Donggo, Ncuhi Kolo serta Ncuhi Parado yang hadir kemudian. 

ASAL USUL MASYARAKAT BIMA

Dana Mbojo memiliki sejarah yang panjang, dikenal sejak jaman Naka hingga jaman Modern saat ini. Namun banyak catatan naskan kuno Dana Mbojo yang terbengkalai dimana-mana. Ada yang ditemukan di Belanda, di Makassar, di Reo serta ada pula yang ditemukan di Singapura dan Afrika. Dari naskah kuno serta artifak sejarah yang ditemukan, dilakukanlah perangkaian catatan sejarah Dana Mbojo dari A sampai Z. namun memang perlu permaklumatan apabila ditengah rangkaian tersebut terjadi miss antara cerita B ke C dan sebagainya. Namun sangat tidak pantas dan merupakan kejahatan turun temurun apabila rangkaian sejarah diendap demi pelanggengan kekuasaan semu. Misalnya Kudeta yang dilakukan oleh Jeneli Sape yang hanya diungkapkan melalui pertanyaan oleh Gubernur Belanda di Makassar pada tahun 1792 kepada Sultan Abdul Hamid. Dari pertanyaan tersebut tidak ada jawaban maupun cerita lebih lanjut dalam buku BO' Sangaji Kai maupun Buku-buku sejarah lainnya. Begitupula dengan cerita La Hila yang selalu diangkat, sedangkan La Mbila tidak pernah diangkat. Padahal mereka berdua adalah adik kakak yang merupakan Mahkota kerajaan. Baru-baru ini ditemukan naskah Kuno yang menyatakan bahwa La Hila melakukan Kudeta atas kekuasaan Kakaknya, La Mbila. Kemudian La Mbila hilang begitu saja dalam beberapa catatan sejarah Bima. Dalam Buku BO' Sangaji Kai, La Mbila disebutkan ada 2 yaitu Rumata Makapiri Solo dan Rato Bumi Renda Manuru Suntu, tanpa menjelaskan La Mbila tersebut adalah orang atau Gelar. Kemudian catatan lain adalah tentang penaklukan tanah timur (Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo) oleh Makapiri Solo, anak dari Raja Bicara Rumata Mawa'a Bilmana. Kemudian sejarah lanjutan atas penaklukan Reo 21 tahun (1762 – 1792) yang merupakan cikal bakal adanya ASI POTA Mbojo dan Takapak tangan `Kahampa'. Serta masih banyak catatan sejarah Dana Mbojo lain yang masih menjadi misteri. Berbicara tentang Tapak Tangan `Kahampa'. Saya menemukan dua versi, yaitu merupakan Tapak pada jaman Batu (Naka) yang dilakukan oleh kerajaan Kalepe Parado dalam rangka menandai kekuasaan wilayahnya. Dan versi yang lain adalah tapak tangan sultan Bima yang menengahi pertumpahan darah antara Bima-Goa-Manggarai pada tahun 1762-1769. kemudian yang menjadi pertanyaan adalah tentang keberadaan kerajaan Kalepe di Parado. Sebab, dalam beberapa literature sejarah di Bima, tidak ada yang menulis tentang keberadaan kerajaan ini maupun asal usulnya. Yang ditemukan hanyalah puing-puing bangunan istana yang luluhlantah. Dari hasil kajian dan eksplorasi singkat saya dengan teman-teman budayawan Bima yang kemudian disenergiskan melalui diskusi ringan dengan sejarawan yang ada di Bima. Bahwa kerajaan Kalepe itu memang ada, yang merupakan kerajaan terbesar di pulau Sumbawa hingga Manggarai. Letak kerajaan Kalepe adalah diwilayah pegunungan Parado yang dibuktikan dengan adanya artifak dan puing-puing reruntuhan Istana kerajaan. Dari beberapa pembuktian yang ada, bahwa kerajaan Kalepe ini ada pada jaman Batu atau Jaman Naka yang merupakan jaman manusia belum mengenal huruf dan tulisan. Kerajaan kalepe inilah yang merupakan kerajaan Dana Mbojo sesungguhnya, sekaligus turun temurun Asli Dou Mbojo. Dari rangkuman cerita yang ada, Kerajaan Kalepe ditaklukan oleh Ncuhi Dara beserta sekutunya. Dari penaklukan ini, rakyat kalepe melarikan diri kearah Timur dan Barat sebab penyerangan dilakukan melalui arah utara. Yang ke barat hingga ke Tambora kemudian mendirikan kerajaan Peka (putih) di Tambora, sedangkan kearah Timur tidak diketahui. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti peninggalan-peninggalan yang antara lain, wadu pa'a, Karombo (karumbu), Temba Romba, dll. Sebagian masyarakat Kalepe yang tidak mampu lagi melarikan diri kemudian berhenti di Sambori, karena merasa tidak dikejar lagi maka mereka mendiami Sambori hingga sekarang yang kemudian disebut Donggo Ele. Sedangkan para tawanan perang dalam rangka penaklukan kerajaan Kalepe dibuang ke Donggo yang kemudian berkeluarga dan berketurunan sehingga menjadi Donggo Di' . Ada kemungkinan bahwa Ncuhi yang merupakan kepala suku (bukan dewa yang disebutkan) yang memimpin komunitas masyarakat atau dusun. Yang kemudian melakukan penggalangan kekuatan dalam melakukan pemberontakan kepada kerajaan. Penaklukan kerajaan Kalepe oleh Ncuhi Dara yang merupakan kepala dari lima Ncuhi yang disebut Ncuhi Na'e (Banggapupa, Dorowoni, Parewa, Bolo, Dara). Sedangkan munculnya Ncuhi yang lain seperti Ncuhi Donggo, Ncuhi Kolo serta Ncuhi Parado hadir kemudian. Setelah kerajaan Kalepe dikalahkan. Ncuhi-Ncuhi inilah yang memerintah masyarakat Dana Mbojo. Saya mencoba mengaitkan Logat yang ada di Bima melalui wilayah kesukuan Ncuhi diatas sebagai kepala suku-suku yang ada di Bima. Ncuhi Kolo merupakan Ncuhi yang berada di bentangan pegunungan Kolo hingga Wera (sentu wera), Ncuhi Bolo adalah yang mengepalai masyarakat wilayah Bolo kearah Barat (sentu sila), Ncuhi Parewa yang menguasai wilayah sakuru hingga Monta bagian dalam (sentu Monta-Tangga), Ncuhi Dorowani adalah pegunungan Belo hingga pegunungan kearah selatan sebelum Parado (sentu ngali-renda, cenggu-tente), Ncuhi Parado yang menguasai wilayah Parado kearah timur, Ncuhi Banggapupa mengepalai wilayah Lambu ke utara (sentu sape), Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Rasanae, serta Ncuhi Donggo yang mengepalai wilayah pegunungan Donggo (sentu donggo). Sehingga saya menyimpulkan bahwa logat yang ada di Bima dibagi dalam delapan logat sesuai dengan kehidupan masing-masing suku yang dikepalai oleh salah seorang Kepala Suku (Ncuhi). Kehidupan Ncuhi beserta masyarakat yang dipimpinya terjadi sejak jaman Naka atau jaman Batu. Dari nama-nama tersebut, tidak ada satupun Ncuhi yang hidup atau berasal dari pesisir pantai. Semuanya berada dipegunungan atau di Gunung. Termasuk keberadaan kerajaan Kalepe yang merupakan kerajaan asli Dana mbojo. Sedangkan masyarakat pesisir yang mendiami kemudian adalah masyarakat pendatang. Yang sedikit demi sedikit memenuhi pesisir pantai diwilayah teluk Bima dalam rangka berdagang. Jika kita kaitkan dengan Sang Bima yang Nota Bene Menurunkan Raja Bima pertama yaitu Indra Jamrud. Yang terkenal dengan sumpah Danatraha-nya ` Ederu nahu surampa dou labo dana'. Sang Bima kita ketahui bersama hadir di Bima dalam 2 Versi yang berbeda yaitu melalui pulau Satonda dan melalui Nanga Belo (dermaga Bima pertama). Sang Bima, hadir sebagai pendatang yang sedang melakukan perjalanan ke Timur (tidak ada penjelasan perjalanan yang dilakukan apakah untuk memperluas wilayah kekuasaan atau secara kebetulan singgah). Kemudian Sang Bima mengajari para Ncuhi dan masyarakatnya tentang bagaimana mengenal huruf dan menulisnya. Dari sinilah Sang Bima diterima oleh para Ncuhi karena kemampuan membaca huruf dan tulisan. Konon Sang Bima menikah dengan salah satu Fare Pidu (tujuh peri) di Kolo (tanpa Catatan yang jelas). Sang Bima merupakan keturunan masyarakat Majapahit. Hal ini dapat dilihat dari asal kapal yang sang Bima tumpangi, Fam yang digunakan dalam namanya serta keturunannya yang selalu ke Majapahit dan beberapa diantaranya kemudian menikah dengan keturunan Majapahit. Kemudian muncul gelar Manggampo Jawa yaitu yang membawa baca tulis. Kemudian menjadi cikal bakal agama Hindu. Sehingga terkesan bahwa hadirnya Sang Bima yang katanya merupakan cikal bakal Dou Mbojo sekarang adalah merupakan keturunan Majapahit (Jawa). Kahadiran Sang Bima jauh setelah adanya Kerajaan Kalepe yang hidup pada jaman Naka yaitu kerajaan Dou Mbojo sebenarnya. Namun sangat disayangkan, bahwa kerajaan ini tidak memiliki catatan sejarah yang jelas. Ada namun diendapkan atau memang tidak ada sama sekali. wallahualam Jadi sebenarnya asal muasal Dou Mbojo adalah Dou Doro (dari pegunungan), bukan pesisir seperti yang di dongengkan selama ini. Namun nampaknya kesan ini dipudarkan melalui celaan, umpatan atau makaian dengan bahasa `nggomike dou doro poda', `sampula bune dou donggo', `pahu dou doro nggomike' dan seterusnya. Wajar jika dengan bahasa itu membuat kita marah karena disamakan dengan Dou Mbojo poda, padahal kita ini sudah merupakan peranakkan dou jawa (orang Jawa). Orang sambori asli dan Donggo Asli, akibat dipandang sebelah mata, mereka mengasingkan diri dalam kehidupannya. Hal ini sama dengan masyarakat asli Mengkasara (Makassar) yang mengasingkan diri di Kajang sebagai suku Kajang di Bulukumba. Masyarakat Bima hari ini kehilangan identitas diri akibat Pembauran keturunan yang terjadi, lebih-lebih ketika Makassar masuk Bima melalui kampung melayu yang dinobatkan sebagai kampung elite Bima atau lebih dikenal sebagai kampung suci karena para Lebe dan Majelis Sara Dana Mbojo dipenuhi oleh orang kampung Melayu. Kampung Melayu di Istimewakan oleh Sultan Bima, yang kemudian di istimewakan lagi dengan adanya perkawinan silang antara Kesultanan Bima dan Kesultanan Goa hingga Sultan Bima yang ke- 6 (enam) memerintah. Dan bahwa dari beberapa literature yang ada, perkawinan silang tersebut berlangsung selama 194 tahun lamanya. Dari gambaran singkat tersebut diatas. Sebenarnya kita adalah Dou Bima (orang Bima) bukan Dou Mbojo (orang Mbojo). Yang berhak menyandang gelar Dou Mbojo adalah masyarakat Donggo dan Sambori saja. Sebab merekalah aslinya Dou Mbojo selama ini. Sedangkan Dou Bima adalah blesteran dari berbagai asal keturunan (jawa, Makassar, Bugis, Gujarat, Cina, dll). Namun karena Dou Mbojo lah kita "ada". Dan karena Dana Mbojo lah kita diterima ditengah masyarakat. Dana Mbojo telah menempa kita juga menjadi Dou Mbojo. Maka sudah sepantasnya kita berbuat untuk Dana Mbojo. Sudah sewajarnya kita menghormati Dana Mbojo. Bukan untuk merampoknya, bukan untuk menodainya, bukan untuk memalukannya dan lebih-lebih untuk merampasnya. Inilah identitas kita sebagai Dou Bima yang tinggal di Dana Mbojo.

JEJAK SEJARAH DANA MBOJO YANG TERLUPAKAN

Sebuah sejarah harus mengungkapkan realitas sebenarnya atas segala sesuatu yang terjadi pada masa kejayaannya. Sejarah yang dikaburkan merupakan kejahatan terhadap generasi. Sebab sejarah bukan sekedar bacaan belaka namun menggambarkan identitas kita dalam fase kehidupan hingga terbentuk karakter diri dan lingkungan sekitar kita. Ketika sejarah dijadikan sebuah alat dalam melanggengkan kekuasaan, maka hal tersebut adalah fatal adanya. Karena suatu saat, gemerasi-generasi kemudian akan membongkarnya. Baru-baru ini, kami (Tambora Study Club-Makassar) mencoba membongkar tabir kejayaan masa lalu dana mbojo yang terjadi pada tahun 1769 – 1792 pada saat kesultanan Mbojo melakukan penaklukan terhadap daerah manggarai. Mengungkap kembali keberadaan ASI Mbojo yang ada di Reo serta hubungan keterkaitan adanya Tapak Kahampa. Sebuah tugas Berat bagi kami (TSC) untuk melakukan penelitian sejarah kemudian dipertanggungjawabkan keabsahan penelitian secara otentik. Tim Peneliti yang di Ketua-I oleh Ketua Umum TSC makassar memulai mengungkap tabir misteri tersebut dengan melakukan study Literatur di Makassar-Gowa, Ende-Manggarai serta Bima. Tak sedikit literature yang didapat untuk mengerucutkan judul tersebut. Dalam study Literatur, Tim dibagi 3 yaitu Tim Makassar, Tim Bima dan Tim Reo-Manggarai. Akhirnya pada tanggal 26 Mei 2008 kemarin seluruh Tim berada di Manggarai-Reo untuk melakukan eksplorasi lapangan atas temuan Literatur tersebut. Pada hari selasa, 10 Juni 2008. seluruh personil Tim Berangkat ke Bima untuk melakukan Sinergisitas atas temuan-temuan lapangan dengan para sejarahwan, Budayawan serta Orang Dalam Kesultanaan. Sebuah hasil yang mencengangkan terkuak. Setelah terjadi penaklukan Reo oleh kesultanan Bima pada tahun 1762 – 1769. kemudian tidak pernah lagi ada catatan atas penaklukan Reo Tersebut hingga tahun 1890. 100 tahun tanpa catatan sejarah. Padahal menjadi sebuah pertanyaan bagi kami ketika menemukan bukti otentik keberadaan ASI di Reo yang dinamakan ASI MBOJO POTA. Terdapat Tapak Tangan Kahampa, beberapa Kuburan Kuno penguasa Bima dan Gowa, semua Dusun/Kampung di Reo menggunakan karakter nama Mbojo. Bahasa keseharian Reo-Manggarai adalah bahasa Mbojo Asli. Kenapa tidak ada yang mengungkap dan kenapa tidak pernah diungkap dalam berbagai catatan sejarah Bima? Berikut Catatan yang kami rangkum : Catatan Sejarah Yang Ada Dalam sejarah kebudayaan Mbojo yang tertulis dalam beberapa Buku seperti : BO' Sangaji Kai, Catatan kerajaan Bima, yang dirangkum oleh Henri Chambert-Loir dan Hj Siti Maryam R. Salahuddin (yayasan Obor Indonesia 1999), Buku BO' Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima (Masir Q Abdullah; 1982), Kerajaan Bima Dana Mbojo (H. Abdul Tajib BA; 1990), Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (Dami L Toda; Ende Nusa Indah 1999). Menceritakan tentang sejarah penaklukan Manggarai oleh kerajaan Bima yang dimulai sejak tahun 1760. Dalam BO' Sangaji Kai mangatakan bahwa ; pada 15/11/1760, Sultan Abdul Kadim menyuruh Tureli Bolo Ismail dan sejumlah pejabat beserta rakyat 1.500 orang untuk menuju gunung Talo di Manggarai sebagai perwakilan kesultanan Bima; mereka disuruh mendirikan Kota dan Benteng … 10 hari kemudian utusan kesultanan Bima sampai di Bandar dalam sungai Gunung Talo Pada Masa tersebut hingga 22/05/1769 dalam catatan BO' Sangaji Kai bahwa "Dalu Todo (Kepala Dusun Todo) dan Dalu Leda (Kepala Dusun Leda) diberikan sebuah surat resmi dari Sultan Bima (Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah atau Ma Wa'a Taho) sebagai tanda kekuasaan Bima atas Pota. Sebelumnya, pada 15/03/1769, Tureli Bolo sebagai Punggawa besar di Pota dan Reo melakukan penyerangan terhadap Benteng Pota dan benteng Pawo hingga akhirnya pada 22/04/1769 Benteng Pota dan Pawo dapat direbut, Daeng Tamimang dan Karaeng Balak menyerahkan diri. Pada saat itu pula Sultan Abdul Kadim mengangkat Daeng Malajang sebagai Papu (Ketua Masyarakat Makassar di Reo) Antara tahun 1760 hingga 1769 menurut catatan D.F. Van Braam Morris (Nota Van Toclichting Behoorende Bij Net Contract Gesloten Met Het Landschap Bima Op Den 20sten October 1886) Kesultanan Bima menguasai Manggarai atas dua wilayah yaitu Reo ndan Pota. Reo memiliki tujuh wilayah distrik/dusun (Reo, Toda, Renda, Kole, Koela, Barie, dan Weas) sedangkan Pota terbagi atas enam distrik/dusun (Babi, Rioeng, Biti, Tjitjir, Ramoe dan Tjongkar). Kepada seluruh Dalu (kepala kampung) yang dilewati oleh rombongan pasukan kesultanan Bima yang dipimpin oleh raja Turteli Bolo selaku yang mewakili Sultan Bima, diharuskan bersumpah dan meminum air pembasuh keris tatarapang yang dipakai oleh Anangguru (Ketua Pasukan) Sape La Nipa serta disumpah bahwa "dengan sejujur-jujurnya bahwa kami sekalian menyatakan, hanya tanah Bima menjadi Nyawa, Tanah Manggarai jadi Tubuh, Tanah Bima jadi angina, Tanah Manggarai menjadi Hamba, sekalian isinya jadi daun dan kayu. Demikian pesan orang tua-tua terdahulu hingga sekarang". Dalam berbagai catatan naskah kuno yang ada di Bima tidak disebutkan berapa Dalu yang disumpahi dan kemudian ditaklukan dengan tanpa perlawanan maupun peperangan. "…Demikian pesan orang tua-tua kami terdahulu…" yang dimaksudkan adalah keturunan dari Makipiri Solo (anak dari Manggampo Donggo) yang sebelumnya telah melakukan penaklukan tanah Manggarai. Dari berbagai buku tidak terdapat catatan kapan tepatnya Makapiri Solo Menaklukan tanah-tanah Timur (Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai, dan Komodo). Hanya dikatakan bahwa Makapiri Solo melakukan penaklukan tersebut atas perintah ayahanda-nya yaitu Mawa'a Bilmana yang merupakan Raja Bima ke- 11. kemudian menjadi Tureli Nggampo (Raja Bicara). Makapiri Solo berupaya meluaskan kerajaan yang kemudian menjadi tradisi hingga pada kepemimpinan Sultan ke- 2 (Abi'l Khair Sirajuddin), Mantau Uma Jati. Selama itu pula tanah-tanah Timur dating ke Bima membawa upeti hingga sampai masa kepemimpinan Sultan Abdul Kadim (yang memerintah pada tahun 1736) Dari catatan sejarah yang ditemukan bahwa menaklukan kembali Reo dan Pota oleh kesultanan Bima adalah akibat adanya gerakan kudeta/pemberontakan yang dilakukan oleh Daeng Tamimang yang bergelar Papu (sebutan bagi pimpinan orang Goa di Manggarai). Hampir seluruh distrik di Reo dan Pota yang dipimpin oleh Dalu (kepala Kampung di Reo) dikuasai oleh Papu. Sehingga misi penaklukan kembali tersebut adalah membinasakan orang Mengkasara (Makassar). Sedangkan dari beberapa catatan sejarah yang ada, tidak ada sikap tegas dari Sultan Goa Sirajuddin yang pada saat itu menjadi sultan di Goa. Sebab Papu adalah perwakilan Kesultanan di Goa di Manggarai yang diangkat oleh sultan itu sendiri. Merunut pada sejarah yang terjadi bahwa Manggarai adalah pertanda Raja Goa dan Raja Bima esa, maka hamba Raja Bima dan Raja Goa adalah satu jua adanya (Manggarai adalah symbol persaudaraan masyarakat Goa dan Bima). Dari catatan Lontara Goa yang kemudian dicocokan dengan BO' Sangaji Kai bahwa raja Goa Tumenanga Rasorayu datang ke Bima (tidak ada penjelasan Tahun), bertemu dengan raja Bima sultan Abdul Kahir (Sultan Bima ke- 1 Mantau Bata Wadu) yang memerintah pada tahun 1620-1640. Pada saat itu diberikannya wilayah Pota sampai Sungai Ramo kepada Sultan Bima. Pada saat Abi'l Khair Sirajuddin atau Mantau Uma Jati memerintah ( 1640-1682) memberi tanah Reo tersebut (untuk dikelola) kepada cucu tirinya Karaeng Bontowa hingga Barie, tetapi isi dan upetinya tidak pernah dibagikan kepada Sultan Bima. Kemudian tanah tersebut dikembalikan lagi kepada Sultan Bima Hasanuddin Muhammad Ali Syah atau Mabata Bou. Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah yang menikah dengan Karaeng Bissangpole menyerahkan tanah Reok yang dikembalikan tadi kepada adik istrinya yaitu Daeng Mambila dan Daeng Mangakili. Pada saat tanah Reok diserahkan kepada Mamora yaitu anak dari Daeng Mangaliki (yang telah dipengaruhi oleh Belanda) berusaha menguasai tanah Manggarai dengan sewenang-wenangnya. Hingga pada akhirnya Sultan abdul Kadim mengambil kembali tanah Reok tersebut dibawah penguasaan kesultanan Bima yang diwakili oleh Tureli Bolo dan kemudian dilanjutkan oleh Tureli Donggo. Ketika masa penaklukan kembali tanah Manggarai oleh Kesultanan Bima (1760 – 1769). Sultan Bima Abdul Kadim melakukan perjalanan dari Bima menuju Reo dan Pota dua kali. Sedangkan Sultan Goa tidak pernah sekalipun datang. Perjalanan pertama tidak tercatat dalam catatan naskah Kuno sejarah Bima. Sedangkan perjalanan ke dua adalah perjalanan bersama rombongan perang yang cukup banyak dalam rangka menjatuhkan benteng Pota dan Benteng Pawo yang bersikeras menentang pasukan Bima. Yang kemudian setelah ditaklukan, sultan Bima melanjutkan perjalanan menuju Goa. Ada catatan yang belum pernah terjawab yaitu ketika Gubernur Belanda bertanya kepada sultan Abdul Hamid yang berkunjung ke Makassar pada tahun 1792 (21 Tahun Kemudian) dengan menggunakan perahu Waworada (perahu yang sama digunakan oleh sultan-sultan sebelumnya). Pertanyaan Gubernur Belanda tersebut adalah tentang keadaan Manggarai dan Pemberontakan yang dilakukan oleh Jeneli Sape. Sedangkan dalam beberapa catatan Kuno ketika Manggarai ditaklukan kembali pada tahun 1769 hingga 1792 tidak pernah lagi dibahas/dicatat Catatan Sejarah Yang Tidak Pernah Terungkap Ketika Tim Peneliti melakukan eksplorasi di Manggarai, Tim melakukan interview dengan beberapa warga Reo yang diakui sebagai keturunan Galarang Dara, Galarang Sakuru, Galarang Mange Maci, Galarang Sape, Galarang Wera serta Galarang Santi yang kini mendiami Reo. Data lisan tersebut menjadi data awal peneliti. Atas kesaksian turun temurun tersebut, di Pota terdapat puing ASI POTA, 30 % bangunan fisik masih bias dikenal. 20 % sisa terbakar dan 50 % telah dirubuhkan dan kemudian diatasnya dibangun perkantoran. Pengakuan dari para keturunan Galarang – galarang di Reo, bahwa masih terdapat Naskah Kuno yang merupakan catatan sejarah yang sempat diselamatkan ketika ASI Pota terbakar. Dan yang bertanggungjawab terhadap pemeliharaan Naskah Bima Kuno tersebut adalah dari keturunan Galarang Mangge Maci (hal ini sesuai dengan pernyataan: "…banyak Naskah BO' pernah disusun di Reok pada tahun 1781 atas perintah Wakil Raja Bima di Manggarai, termasuk naskah `Makassar III'…; hal xxxi – xxxii; BO' Sangaji Kai). Catatan naskah Kuno sejarah Bima yang diyakini oleh masyarakat Reo tersebut masih ada. Yang merupakan titik terang untuk mengetahui sejarah berdirinya ASI Pota maupun Tapak Tangan `Kahampa' yang ada di Reo. Termasuk untuk mengungkap identitas keberadaan dan nama asli Makapiri Solo yang juga diyakini oleh masyarakat Reo sebagai orang yang diutus oleh kerajaan Bima kemudian melakukan penimbunan terhadap teluk kendindi yang kemudian menjadi daratan Reo (sebelumnya Reo adalah Reok yang merupakan bagian teluk Ramo). Keberadaan makam para Turelui, para Anangguru, para Bumi maupun para Galarang yang ada di Reo merupakan bukti otentik sejarah yang hingga saat ini belum terkuak. Ketika Sebuah Misteri Terbongkar Rangkuman dibawah ini merupakan asumsi Tim peneliti yang di senergiskan dengan beberapa catatan sejarah yang ada. Baik catatan dari beberapa buku yang ada di Manggarai, Makassar maupun Bima. Dari data serta penjelasan tersebut diatas bahwa daerah Reo merupakan tapak sejarah Mbojo yang diendapkan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak ingin menjadikan Manggarai sebagai bagian dari sejarah Bima. Sejarah yang tidak pernah diungkap selama 1969 – 1792 (21 Tahun) dalam berbagai literature sejarah, akan coba kami ungkap sedemikian rupa. Manggarai adalah sebuah pulau yang kemudian disebut sebagai pulau Flores (NTT). Terdapat tapak sejarah Bima didaerah tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya ASI Pota Mbojo serta Tapak Tangan Kahampa, ada juga makam-makam kuno yang di yakini sebagai makam para petinggi kesultanan Goa dan kesultanan Bima. Yang lebih identik lagi adalah nama-nama kampong di kec Reo kab Manggarai Tengah menggunakan nama-nama dalam bahasa Mbojo. Misalnya, kampung Bari (Baris), kampung Sigi, kampung Naru, kampung To'I, dll. Bukankah itu adalah sebuah kejelasan adanya keterkaitan antara Bima dan Reo? Namun setelah 21 tahun kemudian (1769-1792) Reo mulai terlupakan. Tidak pernah lagi dibahas dalam catatan Bo' sangaji Kai maupun beberapa buku yang lain. Manggarai diidentikan dengan Donggo, hal itu ketika kita masih mengingat umpatan-umpatan seperti `nggomike pakaro bune dou manggarai', ` sampula nggomike bune dou manggarai'. Dari umpatan tersebut ada kesengajaan sejarah yang tengah diendapkan. Tanpa kita mengetahui kenapa disebut `manggarai ` dalam umpatan-umpatan tersebut. Sebagian para sejarahwan mengatakan bahwa Manggarai adalah tempat pembuangan bagi orang-orang istana kesultanan Bima. Namun dari catatan dan data yang terhimpun, Manggarai hampir sama dengan Tambora, yaitu daerah `mutasi' bagi para petinggi kesultanan yang tidak disukai oleh raja atau mungkin oleh kalangan dalam istana. Jika hal tersebut dibongkar maka aib bagi kesultanan. Sama halnya ketika seminar internasional budaya Mbojo di ruang sidang DPRD Kab Bima pada bulan april 2008 Lalu. Salah seorang narasumber, ahli Naskah kuno dari Universitas Airlangga Surabaya menemukan sebuah catatan hubungan antara kesultanan Bima dengan Kerajaan Malaka (Singapura) pada masa kepemimpinan Sultan Ismail Muhammad Syah (1817-1854). Dalam naskah kuno tersebut dijelaskan bahwa Sultan Ismail pernah melakukan hubungan dagang Opium dan Budak Wanita dengan singapura. Belum selesai dibahas, narasumber lain menyela dan merampas mix yang dipakai oleh narasumber tadi dihadapan para peserta seminar internasional tersebut. Kenyataan lain, bahwa Tapak Tangan `Kahampa' adalah jejak prasasti sejarah Dana Mbojo yang terjadi pada jaman Naka (Jaman Batu). Pada jaman tersebut di Dana Mbojo terdapat kerajaan yang bernama kerajaan KALEPE yang ada di Parado (ilustrasi kerajaan Kalepe baca artikel, Dou Mbojo Atau Dou Bima Kah Kita?). Puing-puing bangunan kerajaan Kalepe tersebut masih ada sampe sekarang, namun catatan sejarahnya tidak pernah ditulis atau dipublikasikan karena berkaitan dengan keberlangsungan kesultanan Bima. Beberapa Budayawan muda local Bima yang berangkat untuk meneliti keberadaan istana kerajaan Kalepe di Parado dilarang oleh Camat Parado dengan alasan yang tidak jelas. Tapak Tangan Kahampa secara historiografi merupakan prasasti jaman Batu (masa Naka; belum mengenal baca dan tulis). Namun beberapa sumber menjelaskan bahwa Tapak tersebut adalah tapak tangan Sultan Bima dalam rangka symbol persaudaraan antara Bima-Goa-Manggarai. `Kahampa' diartikan bahwa `hanya sampai disini pertumpahan darah antara masyarakat Goa-Bima-Manggarai terjadi' Hingga tulisan ini diturunkan, Kami (TSC-Makassar) sedang dalam proses pengumpulan data akhir serta perangkuman penelitian untuk dijadikan Buku. Insyaallah buku yang kami beri Judul ASI POTA & TAPAK KAHAMPA `Sebuah Misteri Tapak Sejarah Mbojo Yang Belum Terungkap'. Akan kami Louching pada penutupan HUT Dana Mbojo ke 367 (5 Juli 2008). Semoga buku tersebut bermanfaat dan menjadi perangkai sejarah Mbojo yang terbengkalai selama ini. Sebab ada kesan bahwa buku BO' Bicara Kai (catatan Ruma Bicara atau perdana Menteri) sengaja diendapkan oleh pihak kesultanan untuk menutupi beberapa aib yang pernah terjadi dalam sejarah Bima. Karena sesuatu yang tidak mungkin apabila BO' Sangaji Kai yang sama tempat penyimpanannya dengan BO' Bicara Kai, selamat dari peristiwa ASI Mbojo terbakar pada tahun 1920-an. Sedangkan BO' Bicara Kai tidak terselamatkan. Terima Kasih, Oleh : R a n g g a (Ketua Umum TSC - Makassar) by www.bimacenter.com


Tuhan tidak menjanjikan hari-harimu tanpa duka, kegembiraan tanpa penderitaan, tetapi ia sungguh menjanjikan kekuatan untuk menghadapi hari-harimu, penghiburan bagi air matamu, dan terang bagi jalanmu